Diskresi Otonomi Daerah

user
ivan 22 Agustus 2017, 12:17 WIB
untitled

OTONOMI daerah merupakan realisasi ide desentralisasi. Sebagai ide desentralisasi, otonomi daerah mempunyai hubungan erat dengan desentralisasi fiskal. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintahan daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan. Implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan memeratakan hasil pembangunan berdasar potensi masing-masing daerah. Otonomi daerah di Indonesia sudah berjalan lebih dari 16 tahun, namun berbagai tujuan otonomi daerah belum optimal capaiannya bahkan untuk indikator tertentu malah semakin memburuk. Dimana salahnya?

Eforia otonomi daerah telah dimaknai oleh pemerintah kabupaten/kota dengan mengelola keuangan pemerintah di daerah secara mandiri dan bebas, khususnya dalam pengelolaan belanja daerah. Inilah yang disebut dengan politik anggaran. Politik anggaran yang dijalankan di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah. Oleh karena itu, esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi untuk membelanjakan dana termasuk belanja modal sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah, alokasi belanja produktif, dan berdasarkan aspek non ekonomis yang menyangkut hal-hal di luar kriteria rasionalitas ekonomis, bahkan dimensi moral. Kesalahan memahami diskresi inilah yang memungkinan penyimpangan anggaran terjadi.

Otonomi daerah tidak semata-mata terletak pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, melainkan juga sejauh mana daerah mampu melaksanakan kewenangan yang diberikan tersebut. Daerah yang mandiri adalah daerah yang mampu menjalankan pemerintahan tanpa tergantung terlalu besar kepada pemerintah pusat. Kemampuan daerah untuk membiayai kegiatan pembangunan secara mandiri dapat dilihat berdasar tingkat derajat otonomi daerah yang diperoleh dari perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah dan dana bagi hasil terhadap total belanja daerah.

Sekitar 71,06% kabupaten/kota memiliki derajat otonomi daerah kategori sangat kurang dan kurang. Umumnya kabupaten/kota di Indonesia berada pada klasifikasi derajat fiskal yang kurang dengan jumlah sebesar 44,62%. Sebanyak 10,61% kabupaten/kota berada pada klasifikasi derajat otonomi daerah baik dan sangat baik. Jumlah kabupaten dan kota inilah yang dianggap mandiri dalam melaksanakan pembangunan daerah. Daerah yang memiliki derajat fiskal yang sangat baik hanya sebesar 6,96%. Deskripsi tentang derajat otonomi daerah menunjukkan bahwa umumnya kabupaten/kota di Indonesia tidak mandiri dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan. Sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih sangat tergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.

Dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sejak tahun 2001 semakin meningkat nilai absolutnya. Namun hasil pembangunan yang dicapai masih belum berkualitas (pembangunan eksklusif). Hal ini dapat dilihat dari capaian angka Indeks Gini yang mencerminkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Semakin tinggi Indeks Gini semakin timpang distribusi pendapatan antarpenduduk. Berdasar data Badan Pusat Statistik tahun 2017, angka Indeks Gini tahun 2001 (0,31), kemudian pada tahun 2007 (0,36), tahun 2009 (0,37), tahun 2011 sampai dengan 2015 (0,41). Pada tahun 2016, capaian Indeks Gini sebesar 0,4. Kecenderungan distribusi pendapatan yang semakin timpang tersebut disebabkan diskresi Kepada Daerah dalam mewujudkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai indikator keberhasilan pembangunan dengan membangun sektorsektor yang mampu menghasilkan nilai tambah produk yang besar namun sedikit penduduk yang mampu untuk mengelola sektor tersebut. Akibatnya, sektor tersebut menghasilkan pendapatan per kapita yang besar sementara sektor lain relatif rendah.

Hal lain yang dapat dianalisis adalah kerusakan lingkungan. Berbagai bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini diyakini juga merupakan buah diskresi dalam otonomi daerah. Kepala Daerah yang sangat ambisius dalam mencapai laju pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan akhirnya menjalankan kebijakan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Hal ini nampak dari alih fungsi lahan pertanian untuk sektor industri dan jasa yang mampu menjadikan daerah tersebut mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun disertai dengan kerusakan lingkungan yang berdampak pada bencana alam.

Diskresi dalam mengelola kebijakan pembangunan dapat dilakukan dalam otonomi daerah namun harus mampu mewujudkan hasil pembangunan yang inklusif, yaitu pembangunan yang berkualitas yang memperhitungkan pertumbuhan (pro-growth), penyerapan tenaga kerja (pro-job), pengurangan kemiskinan (pro-poor), pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan (pro-equality), dan memperhatikan lingkungan (pro-environment). Artinya, pembangunan yang berorientasi pada pencapaian laju pertumbuhan ekonomi tertentu, namun tetap mempertimbangkan 1) penyerapan tenaga kerja; 2) pengurangan rasio penduduk miskin; 3) pengurangan Gini Ratio; dan 4) pembangunan yang berorientasi pada lingkungan hidup. Diskresi membutuhkan pertimbangan berbagai aspek ekonomis dan non ekonomis yang menyangkut hal-hal di luar kriteria rasionalitas ekonomis, bahkan dimensi moral. Apabila pertimbangan tersebut dilanggar, maka dis-crazy lah yang akan muncul, yaitu kesalahan (dis) dalam melakukan diskresi yang menimbulkan berbagai penyimpangan dalam otonomi daerah (crazy). Sesuatu yang tidak kita harapkan.

(Dr Rudy Badrudin MSi. Dosen Tetap STIE YKPN Yogyakarta, Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 21 Agustus 2017)

Kredit

Bagikan