Mencari Pemimpin Yogya

KONTESTASI Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kota Yogyakarta semakin menarik untuk diikuti. Pasalnya, bukan hanya mencermati geliat partai politik yang saling menjajaki kekuatan dan komitmen untuk berkoalisi. Namun, keberadaan calon perseorangan (independen) sebagai kuda hitam dalam Pilkada pada akhirnya pupus sudah alias layu sebelum berkembang. Jogja Indepedent (JOINT) sebagai pengusung pasangan calon independen mengundurkan diri dari kontestasi Pilkada. Fenomea politik ini tentunya sangat disayangkan, akan tetapi juga menjadi pembelajaran bersama. Utamanya partai politik untuk semakin serius mengusung kaderkader terbaiknya yang memamg lahir dari rahim ideologis partai politik dan bukan hasil arisan politik.
Belum lama ini Masjid Jogokariyan melalui Jogokariyan Dakwah Club (JDC) mengangkat tema ‘Menjadikan Jogja Lebih Baik’. Agenda ini menjadi menarik karena masjid sebagai tempat ibadah bisa didorong sebagai sarana publik untuk turut mengangkat kembali kepedulian masyarakat atas masa depan dan keberlangsungan Kota Yogyakarta. Ya, bisa dibilang kegiatan tersebut sebagai kontestasi positif pra-Pilkada dimana setiap bakal calon walikota dan wakil walikota harus menyampaikan visinya untuk menata sekaligus memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki Kota Yogyakarta.
Ada suatu kegelisahan bahwa saat ini slogan ‘Yogyakarta Berhati Nyaman’ telah berubah menjadi ‘Yogyakarta Berhenti Nyaman’. Fenomena sosial ini secara komunal dalam realitasnya telah dirasakan oleh hampir sebagian besar masyarakat Yogyakarta. Perkembangan zaman yang berubah begitu cepat, derasnya arus teknologi informasi, desain tata pembangunan wilayah yang mulai terasa tidak humanis, dan realitas sosial yang semakin permisif menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah. Maka tidaklah berlebihan jika salah satu agenda besar yang harus segera dilakukan yakni mengembalikan ruh Yogyakarta yakni berhati nyaman dan nguri-uri kebudayaan dalam kerangka keistimewaan.
Konsep ‘Mbangun Jogja’ adalah keniscayaan yang harus dilakukan oleh setiap bakal calon walikota maupun wakil walikota, dan salah satunya bisa diawali dengan membangun kampung sebagai entitas sosial, karena kampung merupakan wilayah organis terkecil dari pembangunan. Tidak bisa dipungkiri, Kota Yogyakarta telah berubah menjadi kota metropolis dimana menuntut adanya sinergitas dari segala lini. Keberdayaan sumber daya manusia, teknologi, pelayanan, dan penataan wilayah adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dengan potensi-potensi tersebut Kota Yogyakarta seharusnya mampu menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia. Di samping itu, satu hal yang tidak bisa dilupakan yakni keberadaan Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya, maka pemahaman atas kota metropolis pun seiring dengan basis potensi edukasi dan kebudayaan sehingga Kota Yogyakarta tidak kehilangan simbol sebagai Kota Edupolis.
Pemahaman atas gerakan ‘Mbangun Yogyakarta’ tentunya tidak dibangun dalam wacana kosong, artinya butuh konsep, ruang pemberdayaan masyarakat, serta kepemimpinan yang mumpuni untuk mewujudkannya. Untuk itulah tugas berat ini tidak hanya menjadi tanggung jawab atau domain dari para bakal calon walikota-wakil walikota serta Pemerintah Kota Yogyakarta, akan tetapi seluruh elemen harus terlibat dan bersama-sama, bergotong royong untuk merealisasikannya.
Memang, secara sadar kita tidak akan bisa lepas dari globalisasi pembangunan dimana di dalamnya menuntut kecepatan dalam merespons perubahan yang terjadi. Namun, meskipun demikian, sebagai masyarakat Yogyakarta kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai lokal yang sudah diwarisi dan melekat dalam kepribadian kita. Kota Yogyakarta sudah selayaknya dipimpin oleh sosok yang memegang prinsip Hamangku (melayani), Hamengku (melindungi dengan kasih sayang dan adil), dan Hamengkoni (amanah). Dan kepemimpinannya melebur dalam falsafah Hamemayu Hayuning Bawana, dimana adanya harmonisasi yang terjalin antara manusia dan alam semesta untuk mewujudkan keberkahan.
Mari kita jadikan kontestasi Pilkada Kota Yogyakarta tahun depan sebagai hajatan bersama seluruh masyarakat Yogyakarta untuk benarbenar memilih calon pemimpin yang profesional, akuntabel, komitmen terhadap Pancasila, visioner dan berjuang untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian niscaya akan terwujud pembangunan sumber daya manusia yang menyatu (nyawiji), penuh semangat kebaikan (greget), meyakinkan (sengguh) dan berani bertanggung jawab (ora mingkuh).
(Agung SS Widodo MA. Peneliti Sosial Politik, Pusat Studi Pancasila UGM. Artikel ini tertulis di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 20 Agustus 2016)
BERITA TERKAIT
Unik, 9 Negara Ini Punya Tradisi Valentine Sendiri
Senam Massal Kids Fun 25th Anniversary Bersama Ndarboy Genk
HPN 2023, Baznas-PWK Bedah Rumah Puryanto
Indonesia Menolak Keras Keberadaan Pulau Buatan di Laut China Selatan
Resmi Dilantik, FPTI DIY Jadikan Kelolosan PON Sebagai Target Utama
Gerindra Bantul: Prabowo Presiden 2024 Ini Harga Mati
Pertemuan Menteri ATF Dorong Pariwisata ASEAN Lebih Inovatif dan Kompetitif
SD Muhammadiyah Tegalrejo Launching Sekolah Digital
Delegasi ATF 2023 Jajal Borobudur Trail of Civilization
Hanya Dua Pelatih Lokal Tersisa di Liga 1, Begini Kata Kak Seto
Sengketa Saham Tambang, Dirut CLM Berharap Dirjen AHU Revisi Keputusan
Erik Ten Hag Buktikan MU Tidak Butuh Ronaldo
16 Tim Ramaikan Turnamen Futsal Milad RS PKU Muhammadiyah
Oh No! Bocor Identitas Perempuan Perenggut Keperjakaan Pangeran Harry
Bupati Kendal Dico Ganinduto Hadiri Acara Hari Pers Nasional 2023
JEC Sukses Jadi Tempat Event Internasional Asean Tourism Forum 2023
OK 'Sakpenake' Hibur Pengunjung ATF 2023 di JEC
Thailand Masters 2023, 'The Babbies' Persembahkan Gelar Bagi Merah Putih
Prof Gunarto : Generasi Y dan Z Dominan di Pemilu 2024
Tuntas Buyback Rp 3 T, BRI Tambah Lagi Rp 1,5 T
Sama-sama Alumni Fakultas Teknik Arsitektur UGM, Kini Bertemu di Pelaminan