Bendera Indonesia, M Yamin dan AMS

SANG Merah Putih berkibar apik di depan rumah, gang kampung, dan halaman kantor. Saban perayaan HUT kemerdekaan Indonesia, Bendera Merah Putih bersama umbul-umbul yang dipasang merupakan sebentuk partisipasi warga nyengkuyung semaraknya ‘ritual’ nasional itu. Barangkali tak banyak yang mengerti siapa tokoh yang paling gigih membumikan sejarah salah satu simbol Bangsa Indonesia ini.
Muhammad Yamin (1903-1962), namanya jarang disebut dalam pidato pitulasan. Kendati mencampuradukkan sejarah dengan mitos, ia dalam bukunya ‘6000 Tahun Sang Merah Putih’ tetap punya peran pokok merembeskan rasa nasionalisme dalam tubuh masyarakat Indonesia. Ketokohannya patut diingat. Belum lama ini, roncean kisah pengalaman hidupnya didokumentasikan dalam buku berkepala Muhammad Yamin : Penggagas Indonesia yang Dihujat dan Dipuja. Tapi, dalam buku terdapat kekeliruan fakta sejarah yang harus diluruskan, sekaligus dijembarkan ulasannya.
Pengetahuan Nusantara
Kurang tepat penyair Sapardi Djoko Darmono (hal 131 dan 165) mengatakan bahwa Yamin ke Yogyakarta menjadi murid Algemmene Middelbare School (AMS). Yang benar Yamin berlayar ke AMS di Surakarta. Sekolahan di kota yang dijuluki ‘Jantung Jawa’ ini khusus membuka Bagian A1, jurusan Oostersch Letterkundige (Sastra Timur). Sedangkan AMS di Yogyakarta berkonsentrasi pada ilmu pasti dan teknik. Lantas, periode 1932 AMS Solo digabung dengan AMS di Yogya.
Sekolah yang menjadi kawah candradimuka Yamin ini diprakarsai oleh Dr WF Stutterheim. Ia adalah guru terbaik Yamin yang memengaruhi otaknya untuk mencintai dan membangun gugusan pengetahuan Nusantara. Stutterheim dan Yamin gemar mengkaji benda purbakala lantaran dipengaruhi ekologi Solo yang meminjam istilah ahli etnohistori Madelon Djajadiningrat bergelar ‘surga situs arkeologi’. Dari arca yang berserakan, candi yang megah, hingga bangunan kraton yang indah dan di dalamnya menyimpan kekayaan serat klasik karya para pujangga Jawa termasyhur memberikan keuntungan bagi mereka untuk menekuni pengetahuan Jawa kuno.
AMS mengembangkan jurusan Sastra Timur itu berlokasi di Solo. Karena belum punya gedung sendiri untuk kegiatan belajar-mengajar, maka Stutterheim menyewa rumah di Mesen (sekarang dipakai untuk kampus UNS) milik kapiten China, yaitu babah Mayor Be Kwat Koen dengan harga F 230. Sebelum akhirnya AMS dipinjami gedung oleh penguasa Mangkunegaran di Manahan (sekarang kampus Pendidikan Olah Raga dan Kesehatan UNS).
Dalam kesempatan wawancara dengan Majalah Tempo, saya menyorongkan fakta bahwa era 1926, tercatat sekolahan ini sudah memperoleh murid lebih dari 100 orang. Mereka berasal dari Ambon, Batak, Padang, Aceh, Betawi, Priyangan, Madura, Sumatera, Bali, dan Jawa bagian tengah, serta kelompok Tionghoa dan Belanda. Fakta tersebut menunjukkan bahwa AMS Solo merupakan sekolah favorit kala itu, setidaknya terdengar sampai ke luar Jawa. Pada kenyataannya, AMS Solo nantinya melahirkan para tokoh terkemuka seperti Dr Prijono, Dr Tjan Tjoe Siem, Armijn Pane, Amir Hamzah, Ahdiat K Mihardja, Prof Mr Kusumadi, Prof Ali Afandi dan lainnya. Banyak siswa yang bukan asli Solo, seperti halnya Yamin, memerlukan asrama. Lantas, Stutterheim melobi pemerintah kolonial Belanda, penguasa kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran supaya berbaik hati memberi subsidi guna mendirikan asrama.
Kebudayaan Indonesia
Yamin diajar juga oleh Raden Tumenggung Yasawidagda, pengarang Sastra Jawa yang cukup produktif zaman Balai Pustaka. Oleh guru kesusasteraan Jawa ini, Yamin bersama murid lainnya diajak belajar adat, tata cara dan bahasa Jawa. Di AMS, terdapat pelajaran Kebudayaan Indonesia dan Sejarah Kesenian dalam kurikulum. Di sini, perspektif anak didiknya diperluas dengan pandangan dari sudut Islam, Hindu, dan Buddha lantaran mereka dicekoki Kebudayaan Indonesia yang terbentuk dari percampuran antara unsur budaya Islam, Hindu, dan Buddha.
Yamin tanpa bersekolah di AMS, tentu kurang terampil melesakkan spirit nasionalisme Indonesia lewat karyanya. Akhirnya turut mempengaruhi pola pemikiran dan pengetahuan masyarakat Indonesia di kemudian hari. Perjalanannya selama di tanah Jawa merupakan fase penting dalam hidup Muhammad Yamin untuk bekal diri menjadi intelektual dan pemikir sejati tentang masa depan Bangsa Indonesia.
(Heri Priyatmoko SS MA, Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Artikel ini tertulis di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 19 Agustus 2016)
BERITA TERKAIT
Rendang dan Bebek Panggang Jadi Menu Pilihan Utama Delegasi ATF 2023
Unik, 9 Negara Ini Punya Tradisi Valentine Sendiri
Senam Massal Kids Fun 25th Anniversary Bersama Ndarboy Genk
HPN 2023, Baznas-PWK Bedah Rumah Puryanto
Indonesia Menolak Keras Keberadaan Pulau Buatan di Laut China Selatan
Resmi Dilantik, FPTI DIY Jadikan Kelolosan PON Sebagai Target Utama
Gerindra Bantul: Prabowo Presiden 2024 Ini Harga Mati
Pertemuan Menteri ATF Dorong Pariwisata ASEAN Lebih Inovatif dan Kompetitif
SD Muhammadiyah Tegalrejo Launching Sekolah Digital
Delegasi ATF 2023 Jajal Borobudur Trail of Civilization
Hanya Dua Pelatih Lokal Tersisa di Liga 1, Begini Kata Kak Seto
Sengketa Saham Tambang, Dirut CLM Berharap Dirjen AHU Revisi Keputusan
Erik Ten Hag Buktikan MU Tidak Butuh Ronaldo
16 Tim Ramaikan Turnamen Futsal Milad RS PKU Muhammadiyah
Oh No! Bocor Identitas Perempuan Perenggut Keperjakaan Pangeran Harry
Bupati Kendal Dico Ganinduto Hadiri Acara Hari Pers Nasional 2023
JEC Sukses Jadi Tempat Event Internasional Asean Tourism Forum 2023
OK 'Sakpenake' Hibur Pengunjung ATF 2023 di JEC
Thailand Masters 2023, 'The Babbies' Persembahkan Gelar Bagi Merah Putih
Prof Gunarto : Generasi Y dan Z Dominan di Pemilu 2024
Tuntas Buyback Rp 3 T, BRI Tambah Lagi Rp 1,5 T