Sistem Informasi Desa Setelah UU Desa

TATA kelola data/informasi desa tak bisa dilepaskan dari regulasi yang berlaku. UU No. 5 / 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 / 1979 tentang Desa sama sekali tidak mengatur pengelolaan data/informasi desa. Isu ini juga tak ditemukan dalam UU No. 22 / 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan ke UU No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengembalikan desa sebagai subsistem pemerintahan kabupaten/kota dengan kecenderungan menarik sebagian urusan ke arah sentralisasi.
Dampak regulasi tercermin pada situasi yang terjadi hingga akhir dekade lalu. Persentuhan pemerintah desa dengan data terbatas dalam urusan layanan administrasi kependudukan. Monografi desa tidak dikerjakan secara rutin dan akurat, kecuali jika dibantu mahasiswa KKN. Sensus dan survei potensi desa dilakukan bergantian oleh instansi pemerintah. Namun, walaupun desa jadi sumber data, desa tetap miskin data. Hampir semua data disetor ke supradesa. Desa tidak memiliki kewenangan dan instrumen penyimpan dan pengolah data secara mandiri.
Mewajibkan
Contoh sentralisasi data desa oleh pusat adalah Profil Desa dan Kelurahan (Prodeskel). Permendagri No 12 / 2007 mewajibkan desa/kelurahan mengumpulkan data potensi desa setiap tahun ke dalam sistem informasi yang terpusat di Kemendagri. Data dibutuhkan pusat untuk menilai tingkat perkembangan desa/kelurahan. Namun, hingga 10 tahun lebih pewajiban Prodeskel, data dasar yang terhimpun belum kunjung 100%. Data Prodeskel boleh dimanfaatkan pemerintah desa. Namun, secara teknis, instrumen yang ada tidak memungkinkan data bisa diolah lebih lanjut oleh desa dengan mudah. Akhirnya, Prodeskel lebih banyak dikerjakan oleh desa/kelurahan untuk menggugurkan kewajiban dan sebagai syarat ikut lomba desa/kelurahan.
Intervensi tata kelola data desa yang lebih baik didahului oleh swasta. Beberapa pengembang software lokal sejak awal dekade 2000-an merambah beberapa desa menawarkan aplikasi. Tidak sedikit desa yang tertarik membeli lisensi dan menggunakannya. Namun, aplikasi itu bersifat tertutup, tidak fleksibel dikembangkan sesuai kebutuhan desa. Embrio sumber informasi desa (SID) lebih utuh dikembangkan sejumlah lembaga non-pemerintah setelah membaca peta kebutuhan. Combine Resource Institution (CRI) yang bergiat di isu media komunitas, serta Infest dan IRE yang bergerak di isu sosial dan desa menjadi perintis. Sejumlah desa di DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat jadi lokasi percontohan.
Pasal 86 UU Desa dipandang sebagai pengakuan inisiatif SID. Prinsip tatakelola data/informasi desa juga tercakup dalam pengaturan tentang kewenangan desa, hak dan kewajiban desa, hak dan kewajiban masyarakat desa, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa, dan pemantauan/pengawasan pembangunan desa. Mandat UU Desa mendorong banyak kabupaten berlomba menerapkan SID. Tidak sedikit yang terjebak implementasi massal secara instant.
Lima Prinsip
Di luar UU, ada lima prinsip yang menentukan kebermanfaatan SID, yakni prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, dan keberlanjutan. Kelimanya bisa jadi landasan bagi desa untuk mendapatkan manfaat penerapan SID. Antara lain memperkuat kapasitas desa dalam pelayanan publik, keterbukaan informasi publik, perencanaan dan pembangunan di tingkat desa. Juga perencanaan dan pembangunan di tingkat daerah/kawasan, dan pengelolaan sumber daya desa secara mandiri oleh komunitas desa.
Di tingkat kabupaten, prakarsa SID tak bisa lepas dari sejumlah faktor. Pertama, kesiapan kabupaten atas konsep relasi (data) antarsistem berdasarkan hasil pemetaan sistem informasi di tingkat kabupaten, baik sistem oleh pemerintah kabupaten, provinsi, maupun pusat. Kedua, konsep tata kelola data/- informasi desa secara partisipatif untuk beragam isu pembangunan. Ketiga, konsep pembagian peran antarorganisasi perangkat daerah (OPD) dalam pengelolaan, pendampingan, dan pemanfaatan SID. Keempat, konsep regulasi sebagai payung prakarsa dalam jangka menengah. Kelima, konsep koordinasi dan kolaborasi pemanfaatan SID dengan para pihak yang memiliki program di kabupaten setempat.
Prakarsa SID muncul tidak hanya disebabkan kebijakan pemerintah. Kebutuhan masyarakat desa untuk berbenah dan berubah sejalan perkembangan teknologi adalah faktor pendorong SID yang lebih mendasar. Euforia penerapan SID harus selalu dipastikan apakah berbanding lurus dengan kebermanfaatannya. Baik bagi masyarakat di tingkat desa maupun bagi para pihak di supradesa.
(Elanto Wijoyono. Pegiat Combine Resource Institution. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 2 Maret 2018)
BERITA TERKAIT
Purbalingga Fokus Enam Prioritas Pembangunan Tahun Depan
Biomedis Jadi Ilmu Favorit di Masa Depan
Lurah Sriharjo Kesal, Jalan Ambles di Wunut Belum Diperbaiki
Berbagi Senyum Berkah di Ramadan 2023, JNE Hadirkan Beragam Program
Ramadhan Keliling Dunia Bersama Unissula
Hari Film Nasional: Insan Perfilman Terus Bergerak Wujudkan Merdeka Berbudaya
Disperinaker Sukoharjo Pantau Pembayaran THR Idul Fitri 2023
Innalillahi..Bocah Kembar Terseret Arus Anak Sungai Serang, Begini Kondisinya
1.000 Anak Yatim di Salatiga Terima Santunan Ramadhan
Hujan Angin 'Ngamuk' di Bantul, Belasan Pohon Tumbang Timpa Rumah
Hebatnya Via Vallen, Sediakan Sahur Gratis Selama Bulan Ramadan Full!
Batal Jadi Host Piala Dunia U-20 Presiden Minta Jangan Saling Menyalahkan
Pendataan Ulang Tanah PT KAI di Wonogiri Tanpa Ribut-ribut
UNNES Terima 2.223 Mahasiswa Jalur SNBP
Bentengi Keluarga dari Radikalisme, Kaum Perempuan Perlu Memiliki Kecerdasan Digital
Dampak Hujan Angin di Jogja Hari Ini, Puluhan Pohon Tumbang dan Rumah RusakĀ
BRI Bantu Sistem Pengolahan Air Minum ke Panti Rehabilitasi
Pemkab Boyolali Serahkan Hibah Serta Insentif Pengasuh Ponpes dan Guru Ngaji
Jasa Armada Indonesia Raup Laba Bersih Rp150,6 Miliar di Tahun 2022
GKR Hemas ajak Perempuan Muslim Aplikasikan Pancasila
Alumni SMAN 1 Purwokerto Gelar Basar Ramadan