Harapan Persiapan Pelaksanaan Kurikulum Merdeka

user
Danar W 16 Februari 2023, 21:50 WIB
untitled

Krjogja.com - TULISAN di Kedaulatan Rakyat bertajuk “Diapresiasi, Persiapan dengan Matang” pantas disimak dalam menjelang pelaksanaan Kurikulum Merdeka di mana siswa merdeka belajar dan guru merdeka mengajar. Tentu persiapan pelaksanaan kurikulum baru telah menjadi kelaziman dan itu bukan barang baru. Yang perlu diperhatikan dengan serius oleh semua pemangku kepentingan adalah hakikat Kurikulum Merdeka itu sendiri. Hanya dengan pemahaman tentang hakikat tersebut persiapan dapat dilakukan dengan matang. Mengapa? Karena persiapan yang dimaksud sangat tergantung pada pendekatan pendidikan humanistik yang diusung dalam Kurikulum Merdeka, yang benar-benar memerlukan perubahan pola pikir dan paradigma.

Persiapan pelaksanaan Kurikulum Merdeka tentu akan dapat dilaksanakan dengan baik manakala persiapan tersebut dilandasi pemahaman tentang hakikat pendekatan pendidikan yang diterapkan. Telah banyak diketahui masyarakat bahwa Kurikulum Merdeka diilhami oleh keberhasilan Sekolah Cikal dalam mengembangkan kemampuan dan kemandirian, atau singkatnya dalam memberdayakan siswa. Seperti telah dinyatakan dalam Laman Sekolah Cikal, pendidikan di sekolah itu dikembangkan dengan pendekatan Andragogi dengan memanfaatkan pengalaman positif yang diraih oleh sekolah di Amerika. Inti dari pendekatan andragogi adalah pemberian kesempatan kepada siswa untuk memilih cara-cara untuk menguasai konten/isi pembelajaran dalam rangka mencapai kompetensi yang telah ditentukan oleh sekolah. Perlu juga dipahami bahwa pendekatan Andragogi menekankan kesiapan anak dalam belajar dan perlakuan anak sebagai agen belajar. Dalam hal ini anak perlu benar-benar dipercaya mampu membuat keputusan tentang hal tersebut di atas, tentu melalui praktik terdampingi sesuai dengan kebutuhan.

Apakah semua anak diharapkan mencapai penguasaan sederet kompetensi sasaran? Tentu jawabannya “Ya”, tetapi dimungkinkan ada perbedaan lamanya waktu yang diperlukan oleh anak-anak yang berbeda. Yang perlu diingat adalah bahwa anak-anak memiliki jenis dan tingkat kecerdasan yang berbeda sehingga sederet kompetensi sasaran yang ditentukan sekolah juga harus mewakili jenis kecerdasan yang dimiliki anak. Ada anak yang memiliki kelebihan dalam bidang bahasa, ada anak yang memiliki kelebihan dalam bidang logika-matematika, ada anak yang memiliki kelebihan dalam hak olahraga, ada anak yang memiliki kelebihan dalam hal pemanfaatan ruang, ada anak yang memiliki kelebihan dalam hal keterampilan sosial (komunikasi), ada anak yang memiliki kelebihan dalam hal komunikasi intrapribadi (dialog internal dalam resolusi konflik), ada anak yang memiliki kelebihan dalam hal spiritual, dan ada anak yang memiliki kelebihan dalam hal keberadaan dirinya. Semua perbedaan ini akan mewarnai perbedaan hasil pembelajaran, yang berpadu dengan tingkat kemampuan/kecerdasan tersebut. Memang ada anak yang jumlahnya mencapai 15,7% dalam kurva normal seluruh populasi, yang memiliki kelebihan di sebagian besar atau seluruh bidang. Kelompok anak ini yang biasa menduduki peringkat atas, yang pada masa Kurikulum sebelumnya menguasai pemikiran hampir semua orang tua. Inilah pendekatan kompetitif dalam pendidikan. Bayangkan jika satu sekolah hanya ada juara 1-10, lalu anak-anak lain di mana tempatnya? Sebagian besar populasi sekolah seperti tidak punya tempat, dan itu sangat menyakitkan bagi mereka karena eksistensi mereka perlu mendapatkan pengakuan, yang jarang, atau bahkan tidak pernah mereka nikmati.
Jika kompetensi yang harus dikuasai sama, maka sekolah hendaknya memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mencapai kompetensi dengan waktu yang berbeda. Artinya ada anak yang memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai penguasaan kompetensi yang telah ditetapkan, dan ada akan yang meloncat kelas karena cepat belajar. Yang terpenting, guru dan orang tua tidak mempersoalkan malanya waktu, tetapi sama-sama mengawak penguasaan kompetensi sasaran. Sebenarnya hal ini bukan barang baru di sistem pendidikan di Indonesia, karena dulu pernah dipraktikkan, utamanya di sekolah-sekolah percobaan, meski akhirnya dihentikan.

Pendekatan kompetitif yang menenggelamkan banyak anak tampaknya akan dibongkar oleh Kurikulum Merdeka untuk menjamin bahwa setiap anak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensi sesuai dengan kodratnya dalam lingkungan belajarnya masing-masing. Artinya, pendekatan yang diterapkan mestinya pendekatan unggulan komparatif. Yaitu, setiap anak akan didorong untuk mencapai yang terbaik sesuai dengan kemampuan dan bakat kodrati yang telah dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan perubahan paradigma yang tidak kecil. Agar tujuan perubahan kurikulum tercapai, kurikulum perlu dilengkapi dengan pernyataan-pernyataan kebijakan dan rumusan-rumusan prinsip serta dorongan kepada guru agar merasa merdeka untuk memerdekakan siswanya dengan cara-cara yang cocok dengan budaya di lingkungannya. Memerdekakan siswa berarti meyakinkan bahwa mereka benar-benar merdeka dalam memilih cara untuk menguasai konten dalam mencapai kompetensi sasaran.

Persiapan pelaksanaan kurikulum artinya menyiapkan guru-guru agar benar-benar merasakan kemerdekaan seperti yang diuraikan di atas sehingga berhasil menciptakan suasana di mana tidak ada satu pun anak yang merasa terpinggirkan atau termarjinalkan dengan alasan apa pun. Mereka harus membuang jauh-jauh kecenderungan membanding-bandingkan anak yang atau dengan yang lain karena memang bukan untuk bersaing. Untuk mendorong anak-anak untuk berprestasi sesuai dengan kodratnya, setiap anak justru didorong untuk lebih baik dari capaiannya sendiri sebelumnya. Para pengawas juga perlu bersiap diri untuk mengubah kriteria keberhasilan seorang guru, yaitu tidak lagi membuat RPP yang rinci dan melaksanakannya tanpa perubahan, melainkan membuat “ancangan kasar pengajaran” (hanya garis besar), dengan pelaksanaan di kelasnya akan disesuaikan dengan perkembangan pemelajaran yang ada. Orang tua juga mesti memiliki sikap yang sama, tidak lagi mengharapkan peringkat horizontal, melainkan perbaikan vertikal dalam diri anak; hari ini lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Dengan demikian akan terjadi peningkatan terus menerus dalam diri setiap anak. Untuk ini semua sekali lagi, Kurikulum Merdeka bukan lagi memuat konten secara rinci, tetapi memuat konten inti dan prinsip-prinsip yang perlu dipegang oleh pelaksana kurikulum dalam berbagai tingkatan kebijakan, dan perlu diacu dalam penilaian. Agar anak benar-benar dapat berlatih memilih cara mencapai kompetensi sasaran, sekolah mesti menyediakan paket-paket belajar berbasis jenis kecerdasan (PBBJK), dengan masing-masing paket memiliki tiga tingkatan kesulitan, yaitu Paket SB (semua bisa), Paket CM (cukup menantang), dan Paket SM (sangat menantang). Jika diakui ada 10 jenis kecerdasan, seperti disinggung di atas, maka akan ada 30 paket PBBJK. Untuk latihan-latihan penguatan juga perlu divariasi sehingga anak akan dapat memilih yang dirasakan cocok. Semua ini memerlukan kolaborasi dan kerja sama semua pemangku kepentingan pendidikan. Semoga terwujud. (Suwarsih Madya, Guru Besar Pascasarjana Pendidikan, UST)

Kredit

Bagikan