Tionghoa Jaminan Sukses? Coba Lihat Dulu Pameran Foto “Home Sweet Home” Ini

user
agus 30 April 2019, 05:17 WIB
untitled

BANTUL, KRJOGJA.com - Gedung Pameran RJ Katamsi di kompleks Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sewon Bantul tampak berbeda dari biasanya Senin (29/4/2019) sore. 21 foto dan beberapa perkakasa jadul tampak tersusun dengan rapi di hall yang memang diperuntukkan bagi arena pameran tersebut.

Ternyata karya-karya yang dipamerkan kali ini merupakan hasil jepretan Anton Gautama, seorang fotografer dokumenter berdarah Tionghoa yang menampilkan tema Home Sweet Home. Ketika kita masuk menyelami satu persatu hasil jepretan, jangan harap akan menemukan rumah nyaman dengan arsitektural kekinian dan penataan lokasi yang menarik.

Alih-alih kita akan dibawa Anton menuju rumah-rumah yang terkesan berantakan, jauh dari kata nyaman dalam arti lazim. Anton memilih menceritakan rumah-rumah etnis Tionghoa di kawasan tengah kota di Makassar dan Surabaya, dengan segala wajah yang tak dibuat-buat.

Tumpukan buku, kardus, kulkas lawas, cat mengelupas, ubin yang berubah warna, tv tabung, terali besi karatan bahkan tangga rumah yang dipenuhi perkakas dapur akan kita saksikan dalam frame-frame Anton. Inilah potret kediaman warga Tionghoa yang masih dihuni saat ini dan disebutnya sebagai Home Sweet Home.

“Saya ambil frame-frame ini dari rumah masyarakat Tionghoa di Makassar dan Surabaya. Dari sinilah muncul cerita-cerita baik kisah sukses maupun ketidakberuntungan sebuah generasi keluarga Tionghoa yang ada di salah satu bagian Indonesia. Ada keluarga yang dulu jaya berjualan bakpao dan punya seember emas namun kemudian bangkrut karena generasi selanjutnya tak bisa meneruskan,” ungkapnya dalam konfererensi pers sebelum pembukaan pameran Senin (29/4/2019).

Selama satu tahun Anton melakukan riset dengan berbagai dinamika untuk berhasil menjepret situasi rumah dengan eye level, low exposure. Penolakan, tak jarang didapatkannya termasuk panggilan hati membantu si pemilik rumah dengan membeli barang-barang lama harus dihadapi demi mendapat frame yang dikisahkan dalam pameran ini.

“Orang tahunya etnis Tionghoa itu eksklusif dengan ekonomi berkecukupan seluruhnya. Dari frame-frame ini saya ingin tunjukkan sisi lain tentang perjuangan yang terkadang berhasil namun tak jarang berakhir pahit. Bagi saya, ini seperti menyelami kehidupan di masa lampau karena saya dilahirkan dari keluarga yang miskin, dan seperti apapun bentuknya ya inilah home sweet home bagi pemiliknya,” sambung fotografer yang juga berdarah Tionghoa ini.

Kurator pameran, Irwandi mengatakan bawasanya Anton memiliki konsistensi dalam dunia fotografi dan hal tersebut layak dicontoh oleh mahasiswa dan masyarakat yang menekuni sebuah pekerjaan. Iswandi mengatakan bawasanya fotografi merupakan sebuah ungkapan rasa dari apa yang dialami dan Anton sukses mewujudkannya dalam pameran kali ini.

“Fotografi itu merupakan ungkapan dari apa yang dirasakan dan dialami, ini terlihat dari apa yang dijepret oleh Anton. Ia menggunakan eye level dengan low exposure dan tanpa pencahayaan tambahan untuk membawa kita masuk dalam frame. Ini menarik dan membuat kita memahami apa yang ingin disampaikan,” tandas dia. (Fxh)

Kredit

Bagikan