Memecah Bangsa, Waspadai Politisasi Agama

Dies Natalis FH UGM ke-73.
SLEMAN, KRJOGJA.com - Politisasi agama untuk kepentingan politik sudah jelas terlihat di Indonesia, khususnya menjelang pemilihan kepala daerah hingga kepala negara. Hal tersebut perlu diwaspadai karena akan membuat perpecahan di kalangan masyarakat dan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan berbangsa.
"Saya berpendapat, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Bersyariah itu hanya sebatas jargon politik saja. Sebenarnya, Indonesia itu telah mengakomodasi hukum Syariah dengan menyediakan administrasi urusan Muslim," papar Dosen Fakultas Hukum (FH) Monash University Australia, Prof H Nadirsyah Hosen PhD dalam orasi ilmiah Dies Natalis FH Universitas Gadjah Mada (UGM) ke-73 yang digelar di University Club (UC) UGM, Selasa (19/02/2019).
Pria yang akrab disapa Gus Nadir itu menjelaskan, akomodasi tersebut memang terbatas pada hal-hal tertentu yakni status keluarga, masalah ekonomi, melarang praktik yang tidak dianggap Islami dan hukum pidana atau hudud. "Syariah sendiri terbagi menjadi lima tingkatan dari status keluarga sampai hudud itu dan yang paling tinggi adalah sebagai panduan untuk urusan pemerintah atau negara Islam. Tingkat keempat atau hudud itu diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sedangkan tingkat kelima telah ditolak melalui proses amandemen konstitusi yang demokratis," jelasnya dalam orasi ilmiah berjudul 'The Idea of NKRI Bersyari'ah : The Interaction of Democracy, Law, Shari'ah and The Nation' itu.
Lebih lanjut, ia mengatakan politisasi agama sudah terjadi sejak 2014 ketika Presiden Joko widodo pertama kali menjadi salah satu calon presiden. Kemenangannya sebagai presiden terpilih membuat ia harus meninggalkan jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta dan membuat Basuki Tjahja Purnama (BTP) menjadi kepala daerah ibukota.
"Saya tidak perlu mengulangi bagaimana BTP jatuh dari kepemimpinannya dan bagaimana Jokowi harus memikul beban berat dari kampanye hitam yang mempertanyakan identitas Islam Jokowi yang sebenarnya," tutur pria yang juga menjadi Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU Australia-New Zealand.
Ditambahkannya, akibat politisasi agama itu, tiada satupun kerja keras BTP yang dihargai karena BTP dituduh telah menistakan umat Islam. Bahkan dimasa itu khotbah Jumat penuh dengan ujaran kebencian hingga pengkotbah mengancam orang yang memilih BTP, seorang Cina - Kristen akan masuk ke neraka.
"Ini adalah tantangan buat masyarakat Indonesia untuk terus menjaga harmoni seusai dengan UUD 1945. Benar kalau demokrasi itu berbasis kepada mayoritas, tetapi kita juga punya konstitusi yang memproteksi minoritas dan membatasi kemampuan mayoritas sesuai keinginannya. Dalam hal ini, kelompok Muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia harus belajar melindungi minoritas sebagaimana yang dilakukan di negara lain," imbuhnya. (M-1)
BERITA TERKAIT
Tetapkan 1 Tersangka, Kejari Sukoharjo Tangani Kasus Dugaan Korupsi PD BKK Bulu
Berkedok 'Valet Parking' Hotel Bawa Kabur Mobil HRV
Sambut Ramadan, Komunitas Guru Gugus 8 Depok Gelar Bazar
Perdebatan Hisab dan Rukyat Sudah terjadi di Zaman Belanda
Padusan di Telaga Kusuma, Pengunjung Disambut Live Music
AMI Bertekad Implementasikan Sapta Karsa
Sadisnya Pelaku Mutilasi Pakem, Usai Membunuh Mampir Makan di Warmindo
Suasana Puasa Zaman Kolonial Belanda, Satu Bulan Sekolah Libur
Organisasi Berbasis Digital, Jadilah Kupu-kupu
Lulusan STPMD 'APMD' Dituntut Proaktif dan Aplikasikan Ilmu di Masyarakat
Pelaku Mutilasi Sempat Tulis Surat, Kita Bisa Bertemu di Penjara atau Akhirat
Berangkat Mijit Pelanggan, Malah Curi Motor
BRI Terkoneksi SIPD, Mudahkan Pengelolaan Transaksi Keuangan
Imam Sudjarwo Terpilih Ketum Ketiga kalinya
Oknum Kepsek dan Korwil Disdik di Wonogiri Bikin Foto Asusila
497 ASN Pemkab Sukoharjo Terima SK Kenaikan Pangkat
Sosialisasi Dan FGD Menyikapi Erupsi Merapi Terkini
Wonogiri Sudah Siap Sambut Arus Mudik
Disparpora Gelar Pelatihan Kuliner Khas Merapi - Merbabu
PLN Siap Amankan Pasokan Listrik di DIY
Polisi Jerat Pelaku Mutilasi Pakem dengan Hukuman Mati