Kebijakan Impor Beras Dikhawattirkan Rugikan Petani

Ilustrasi
Krjogja.com - YOGYA - Keputusan pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton mendapatkan reaksi beragam dari sejumlah pihak. Meskipun kebijakan impor itu terpaksa diambil dengan alasan untuk memperkuat stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang ditargetkan sebanyak 1,2 juta ton pada akhir tahun 2022.Reaksi prokontra itu muncul, karena keputusan impor itu dinilai bertolak belakang dengan komitmen Kementerian Pertanian yang sebelumnya sempat menyanggupi pasokan beras 600 ribu ton untuk Bulog.
"Saya kira dalam menyikapi persoalan impor beras ini, ke depan sudah saatnya kementrian pertanian mendorong peningkatan produksi beras nasional. Hal itu perlu dilakukan untuk bisa mencukupi kebutuhan nasional. Selain itu kementerian pertanian juga harus mendengar keluhan petani mulai masalah air, harga pupuk, BBM subsidi, asuransi, KUR, hama dan pemasaran produk petani. Karena import bukan langkah tepat, tapi pemberdayaan petani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan ekspor perlu mendapat prioritas,"kata pengamat ekonomi sekaligus dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Widarta MM di Yogyakarta, Senin (26/12).
Widarta mengatakan, keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras dikhawatirkan bisa merugikan petani. Karena pada Februari-Maret 2023 petani sedang berproduksi dan stok beras akan melimpah. Karena itu, sebaiknya Bulog agar memaksimalkan penyerapan saat nanti panen raya tiba. Serapan Bulog yang relatif sangat sedikit karena Bulog belum bisa secara profesional menyerap beras nasional, termasuk memasarkan beras nasional ke masyarakat. Terbukti sebagian besar bahkan semua masyarakat Indonesia tidak berminat untuk membeli beras yang dipasarkan oleh Bulog.
Sebagai contoh Indonesia mempunyai lahan pertanian sebesar 70 juta hektar dengan lahan panen padinya sebesar 10,41 juta hektar tetapi hanya menghasilkan beras nasional sekitar 31 juta ton pertahun. Sedangkan Vietnam yang hanya mempunyai lahan pertanian sebesar 7,2 juta hektar bisa menghasilkan produksi beras 44 juta ton pertahun. Sehingga Vietnam bahkan bisa menjadi negara pengekspor beras nomor 2 terbesar dunia di tahun 2020.
"Saya kira kebutuhan beras dapat diketahui dengan mempertimbangkan keseimbangan antara supply (produk pertanian) dan demand (konsumen beras). Jadi perlu diamati kapan panen raya dan kapan bisanya stock beras berkurang," ungkapnya.
Lebih lanjut Widarta menambahkan, biasanya periode Januari-Februari merupakan masa paceklik padi. Sedangkan untuk panen besar biasanya baru terjadi mulai akhir Februari atau awal Maret. Artinya, Januari-Februari masih perlu operasi pasar agar harga beras tidak melonjak tinggi dan terjangkau oleh masyarakat. (Ria)
BERITA TERKAIT
Perangi Malnutrisi dan Stunting Lewat Zero Hunger
Purnawirawan TNI dan Polri Usulkan Anies AHY untuk Pasangan Sipil Militer
PWI Banjarnegara Gelar Diskusi Pemberdayaan Potensi Desa Sebagai Tujuan Wisata
KPU Bantul Rekap Data Pemilih Berjenjang
Ichiban Sushi Kantongi Sertifikat Halal MUI
HUT BLN Gunungkidul, Tingkatkan Kesejahteraan Anggota
Tak Peduli Ramadan, Tiga Pasangan Terjaring Saat 'Ngamar'
Bupati Klaten Resmikan Mushola PKL Jalan Bali
Di Tengah Rilis Produk Baru DS Modest Peduli Kesehatan Mental Masyarakat
GKR Bendara bersama BKKBN, Sambangi Keluarga Risiko Stunting
Pengemis dan Gelandangan Serbu Sukoharjo Selama Ramadan, Masyarakat Resah
Dianggap Hendak Perang Sarung, 4 Remaja Wates Diamankan Warga
Endoskopi Bariatrik, Kabar Baik Bagi Penderita Komplikasi Obesitas dan Fatty Liver
Minta Pulang, Pekerja Migran Indonesia Asal Karawang Dijual ke Suriah $12.000
Pedagang Nekat Timbun Bahan Pokok Saat Ramadhan Bakal Disikat
Di Bulan Ramadhan, Komunitas SMJ Gelar Kegiatan Jumat Berkah
Ramadhan, UMK dan Inflasi
Mafia Umrah Harus Dihukum Berat
Test Drive Hyundai Creta, Inovasi Kenyamanan Berkendara
Tata Cara dan Niat I’tikaf di Masjid Lengkap dengan Amalan yang Dilakukan
Bapemperda dan Komisi D DPRD Grobogan Sepakat Cabut Raperda Zakat