Padi Apung UMY Viral, Ternyata Ini Cerita di Balik Penemuannya

user
Agusigit 07 Januari 2023, 10:11 WIB
untitled

BANTUL - Padi teknologi apung yang digagas Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LPM UMY) bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit  (GIZ) Indonesia dan telah berhasil dipanen di Kutai, Kalimantan Timur dan Green House UMY menjadi perhatian masyarakat beberapa hari terakhir. Banyak yang beranggapan, teknologi ini bisa diterapkan untuk mendukung program food estate yang kini sedang dicanangkan pemerintah.
Padi teknologi apung mulai diterapkan tahun 2020 dalam bingkai besar pengelolaan lahan gambut dengan sistem paludikultur berbasis masyarakat di Kalimantan Timur. Tujuannya adalah sebagai pusat pembelajaran petani melalui pembangunan demplot usaha pertanian di tengah rawa gambut, selanjutnya hasilnya dapat menjadi model bagi pengelolaan usaha masyarakat yang ramah lingkungan di kawasan lahan gambut.
Dr Gatot Supangkat, Kepala LPM UMY menjelaskan pelaksanaan program yang dilakukan di Desa Muhuran, Kabupaten Kutai Kertanegara dan di desa Minta, Kabupaten Kutai Barat telah dilakukan sepanjang tahun 2020 dengan berbagai riset dan ujicoba. Salah satu yang telah dikembangkan adalah budidaya padi dengan cara apung.
“Saat kami datang ke sana warga mengeluhkan gagal panen dan produksi padi yang tidak optimal. Warga memanfaatkan area rawa yang surut sebagai lahan tanam padi. Namun, lahan ini sering kali mendapat luapan air sungai Mahakam, akibatnya padi terpendam air yang mengakibatkan gagal panen. Karena itu salah satu inovasi yang kami lakukan adalah menamam padi dengan cara terapung seperti yang saat ini bisa kita lihat di Green House Faklutas Pertanian  UMY ini,” ungkap Gatot, Sabtu (7/1/2023).
Menurut Gatot, sistem pertanian padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam pada lahan tergenang air. Padi apung menjadi salah satu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim untuk wilayah-wilayah rawan banjir atau rawa yang tergenang air.
“Apabila padi apung dikembangkan di lokasi lahan rawan banjir atau rawa, maka akan terjadi peningkatan hasil produksi dan pendapatan bagi para petani karena adanya peningkatan nilai ekonomi dari lahan tersebut. Tentunya sistem pertanian padi apung menjadi solusi untuk mengatasi dan memanfaatkan kondisi lahan rawan banjir dan rawa dengan optimal,” sambungnya.
Ir Mulyono, staf ahli penelitian UMY menambahkan padi teknologi apung dikembangkan menggunakan rakit dari bambu dan media tanam bekas botol berisi lumpur, pupuk organik yang terbuat dari bulu ayam dan kompos. Bahan-bahan yang banyak ditemukan di sekitar bisa dimanfaatkan untuk memaksimalkan produksi pertanian padi ini.
“Kalau di Kalimantan Timur kemarin, kami menggunakan pupuk organik dari bahan kotoran burung wallet, dan rumput kiambang yang diolah menjadi kompos sebagai campuran media tanam. Saat di Kalimantan Timur kami menggunakan padi jenis IR 64. Sedangkan di green house UMY, kami menggunakan jenis padi rojolele,” terang Mulyono
Padi apung menjadi salah satu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim untuk wilayah-wilayah rawan banjir atau rawa yang tergenang air. Apabila padi apung dikembangkan di lokasi lahan rawan banjir atau rawa, maka akan terjadi peningkatan hasil produksi dan pendapatan bagi para petani karena adanya peningkatan nilai ekonomi dari lahan tersebut.
“Inovasi ini sekaligus menjawab kebutuhan pangan warga di daerah rawa gambut di Kalimantan Timur atau daerah lain di Indonesia. Dengan pemanfaatan rawa untuk pengembangan pertanian tanpa merusak gambut yang bisa berakibat terhadap perubahan iklim,” lanjut Mulyono. (Fxh)

Kredit

Bagikan