KRjogja.com – Di sebuah dusun di perbukitan Salamrejo, Sentolo, Kulonprogo, deru mesin jahit bersahutan dengan suara obrolan para perajin. Di ruangan yang tak terlalu luas, gulungan serat mendong dan enceng gondok menumpuk menunggu disentuh tangan-tangan terampil. Di sanalah berdiri sebuah showroom kecil dengan nama yang kini cukup dikenal di dunia kriya serat alam: Yu Payem.
Payem, sang pemilik, menuturkan kepada KRjogja.com bahwa usahanya berangkat dari ruang yang sangat sederhana. Ia meninggalkan pekerjaan di pabrik, kembali ke kampung halaman dengan tekad memperbaiki ekonomi keluarga, terutama untuk masa depan sang anak. Alih-alih sambutan, yang datang justru cibiran dan kesulitan mendapatkan bahan baku. Pesanan sempat mengalir, tetapi selalu terbentur modal. Sertifikat rumah sudah ia bawa ke berbagai pintu, namun permohonan kredit tak kunjung dikabulkan.
Peruntungan berubah ketika ia berkenalan dengan mantri BRI yang bertugas di wilayah tersebut. Dari petugas lapangan inilah Payem pertama kali memperoleh akses pembiayaan formal, pinjaman awal Rp 5 juta untuk menyelesaikan order perdananya. Dari pesanan kecil itu, jumlah permintaan meningkat, jejaring perajin meluas, hingga pada satu masa ia pernah mempekerjakan sekitar 300 orang demi memenuhi permintaan ekspor. Beberapa tahun berselang, BRI kembali memperkuat dukungan lewat hibah CSR Rp 50 juta untuk menambah sarana produksi, mengukuhkan komitmen pendampingan perbankan terhadap usaha yang tumbuh dari desa.
Di selatan Yogyakarta, tepatnya di Dusun Kiringan, Canden, Jetis, Bantul, ratusan perempuan peracik jamu mempertahankan tradisi dengan cara yang lebih modern. Mereka dulunya identik dengan gerobak dan batok kelapa. Kini, setelah Koperasi Seruni Putih terbentuk dan mendapat dukungan beragam pihak termasuk BRI, jamu racikan Kiringan hadir dalam bentuk serbuk instan dan botol kemasan yang siap dibawa pulang sebagai buah tangan. Bantuan mesin giling menjadikan proses produksi lebih efisien, sementara akses simpan pinjam membuat anggota berani menambah skala usaha rumahan.
Musim liburan menjadi saat paling sibuk. Pesanan datang tidak hanya dari pemudik yang mampir langsung ke Kiringan, tapi juga dari berbagai toko oleh-oleh di Yogyakarta dan sekitarnya. Di luar hari-hari ramai itu, puluhan penjual jamu Kiringan tetap setia berkeliling kota dengan sepeda onthel maupun motor, menjajakan botol-botol jamu yang kini tampil lebih meyakinkan.
Kisah Yu Payem dan para peracik jamu Kiringan menyimpan pola serupa: usaha kecil yang bertahan dengan keberanian, kemudian menemukan pijakan yang lebih kokoh ketika bersentuhan dengan akses perbankan dan pendampingan yang tepat. Di balik cerita lokal semacam itu, BRI sedang mengeksekusi strategi pemberdayaan UMKM dalam skala jauh lebih luas.
Pada tataran nasional, pendekatan BRI terhadap UMKM dituangkan dalam berbagai program yang saling terhubung. Salah satunya adalah LinkUMKM, platform digital yang dirancang sebagai etalase sekaligus ruang belajar pelaku usaha kecil. Hingga akhir September 2025, lebih dari 13,6 juta pelaku usaha tercatat telah memanfaatkan LinkUMKM untuk memperluas pasar, meningkatkan kapasitas, dan mempercepat proses naik kelas.
Dalam keterangan pers yang diterima KRjogja.com, Direktur Micro BRI Akhmad Purwakajaya menjelaskan bahwa LinkUMKM hadir menjawab kebutuhan pelaku usaha yang selama ini kesulitan mencari pelatihan dan pendampingan yang sesuai tahap perkembangan bisnis. Melalui platform ini, pelaku UMKM dapat mengikuti pelatihan daring, melakukan self-assessment untuk memetakan kesiapan naik kelas, sekaligus mengakses lebih dari 690 modul pelatihan baik teknis maupun nonteknis yang disusun berdasarkan pengalaman di lapangan.
“Kami ingin proses pemberdayaan UMKM tidak berhenti pada pelatihan satu-dua hari, tetapi membantu pelaku usaha memahami posisi dan potensi bisnisnya secara lebih utuh,” ujarnya.
Pendampingan juga diperkuat secara luring lewat jejaring Rumah BUMN. Sampai akhir September 2025, BRI telah membina 54 Rumah BUMN dan menyelenggarakan sekitar 17 ribu pelatihan bagi UMKM di berbagai daerah. Di sejumlah kota, Rumah BUMN tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelatihan manajemen dan peningkatan kualitas produk, tetapi juga sebagai ruang kurasi dan promosi, seperti yang dirasakan Pundi Craft dan sejumlah pelaku kerajinan lain yang kini merambah pasar daring.
Di hulu, BRI menata pemberdayaan dengan menyasar desa dan komunitas. Sampai akhir September 2025, perseroan telah membina 4.909 Desa BRILiaN di berbagai wilayah dan mengembangkan 41.715 klaster usaha melalui program KlasterkuHidupku. Desa-desa tersebut mendapat pendampingan literasi keuangan, pelatihan kewirausahaan, dan penguatan kelembagaan, sehingga pelaku usaha setempat tidak hanya menjadi penerima kredit, tetapi tumbuh sebagai pusat aktivitas ekonomi baru.
Pada saat yang sama, segmen usaha mikro dan ultra mikro diperkuat melalui Holding Ultra Mikro (UMi) yang menggabungkan BRI, Pegadaian, dan Permodalan Nasional Madani (PNM). Hingga September 2025, sinergi tiga entitas ini telah menjangkau sekitar 34,5 juta debitur aktif dengan total pembiayaan mencapai Rp632,1 triliun. Total simpanan mikro yang dikelola di dalam ekosistem UMi tercatat lebih dari 185 juta rekening.
Dalam paparan kinerja kuartal III 2025, Akhmad Purwakajaya menegaskan bahwa Holding UMi dirancang untuk memudahkan pelaku usaha mikro dan ultra mikro mengakses pembiayaan formal. Di segmen mikro, BRI disebut terus melakukan penataan ulang proses bisnis mulai dari penguatan peran mantri dan relationship manager hingga pemanfaatan kanal digital seperti BRIspot agar proses pembiayaan makin cepat dan efisien.
Wakil Direktur Utama BRI, Agus Noorsanto, menambahkan bahwa beragam program pemberdayaan seperti Desa BRILiaN, klaster usaha, Rumah BUMN, dan LinkUMKM bukan hanya wujud komitmen sosial perseroan, tetapi juga strategi bisnis jangka panjang yang memperkuat fondasi ekonomi kerakyatan.