Dua Wajah Koridor Gatsu

user
danar 29 Oktober 2017, 12:30 WIB
untitled

TAHUN 1970-an, pasar yaik menjadi ikon legendaris pada kawasan Jalan Gatot Subroto, mulai dari simpang empat Singosaren hingga simpang empat Pasar Pon. Setiap malam di antara deretan pertokoan, riuh rendah pedagang dengan aneka mata dagangan berbaur dengan warga entah sekadar jalan-jalan atau berburu barang-barang konsumsi. Saat itu, jumlah kendaraan bermotor memang masih terbatas, pun parkir di bahu jalan nyaris nihil, sehingga orang teramat leluasa beraktivitas di areal pasar yaik. Praktis pasar yaik tak sekadar wadah bertransaksi dagang, namun juga arena interaksi sosial.

Legenda itu tersingkir memasuki era 1980-an, bersamaan Pasar Singosaren di ujung Selatan Jalan Gatot Subroto, berubah menjadi mall lewat transaksi ruilslaag, sekaligus menjadi pasar modern pertama di Kota Solo. Tak kurang, seirama dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor, kawasan Jalan Gatot Subroto yang merupakan pusat kegiatan ekonomi utama pada waktu itu, tak mungkin lagi jadi ajang berdagang dengan memanfaatkan trotoar dan sebagian bahu jalan.

Selama hampir tiga dasa warsa terakhir, kawasan Jalan Gatot Subroto tumbuh menjadi kawasan ekonomi yang serba terburu-buru, nyaris tanpa ruang sosial. Baru sekitar dua tahun lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Solo menata ulang kawasan ekonomi itu, dengan membangun city walk dilengkapi lampu-lampu serta kursi taman. Muaranya jelas, memberikan ruang bagi masyarakat saling berinteraksi dalam perspektif sosial, agar tak terjebak dalam kekakuan makhluk ekonomi. Jadilah, kawasan itu bernama Koridor Gatot Subroto (Gatsu).

Belakangan, ratusan pelukis mural, menginisiasi memberi isi Koridor Gatsu lewat  lukisan-lukisan pada dinding ataupun rolling door pertokoan yang diluncurkan Walikota Solo, FX hadi Rudyatmo, Sabtu (28/10/2017) malam. Mereka tak sekadar  menuangkan daya kreatifnya pada kanvas dinding ataupun rolling door, pemilik toko dilibatkan semaksimal mungkin, terutama menggali sumber inspirasi tema lukisan.

Hasilnya sangat luar biasa, ungkap Sardono W Kusumo yang mengkoordinasi kalangan muralis mempercantik Kordidor Gatsu, banyak sumber inspirasi lukisan yang hampir tidak pernah terbayangkan para muralis. Sebut saja, seorang pemilik toko arloji yang telah membuka usaha sejak puluhan tahun silam, tanpa diduga menyodorkan sebuah foto seorang berkebangsaan Jerman, penemu arloji sekitar abad 16 silam.

Dia menginginkan tokoh penemu arloji itu menjadi tema sentral lukisan mural pada rolling door toko miliknya, disertai embel-embel, busana yang dikenakan bermotif batik. "Sungguh, sumber inspirasi ini tak pernah terbayangkan, sehingga menjadi tema lukisan sangat memikat," ujar Sardono sembari menyebut, lewat diskusi pendek antara pemilik toko dan muralis, akhirnya disepakati busana yang dikenakan tokoh asal Jerman itu tak bermotif lurik untuk memberi kekhasan Solo.

Interaksi semacam itu sangat penting, sebab esensi mural merupakan seni publik, yang berproses mulai dari penggalian ide, penuangan, hingga pemanfaatan. Mural bukan sekadar hiasan pda ruang terbuka, jelas penata tari sekaligus penari serta pelukis yang akrab disapa Mas Don ini, tetapi telah menjadi budaya visual dengan beragam pemaknaan nyaris tanpa batas.

Alhasil, Koridor Gatsu yang dulu dikenal dengan nama pasar yaik, kini memiliki dua wajah. Pada pagi siang hingga pukul 21.00, kesibukan didominas kegiatan ekonomi, dan lukisan mural itu tersembunyi dibalik gulungan rolling door. Tetapi selepas pukul 21.00 ketika pemilik menutup toko dengan menurunkan atau menggeser rolling door lukisan mural menampakkan jati dirinya, di bawah sorot lampu yang juga didesain secara khusus. Itulah dua wajah Koridor Gatsu sekarang.

Lain lagi dengan Waikota FX Hadi Rudyatmo, inisiasi kalangan seni mural yang didominasi kaum muda, dapat dijadikan pemicu untuk merangkut kalangan vandalis beraktivitas secara positif. Aksi corat-coret yang terjadi diberbagai sudut kota, atau lebih dikenal dengan istilah vandalisme, sulit diatasi. Pemberian sanksi kepada pelaku vandalisme, tak juga menyurutkan tindakan yang mengganggu keindahan kota ini.

Tahun anggaran 2018 nanti, seni mural diperluas ke pertokoan kawasan sepanjang jalan Slamet Riyadi, sehingga terbuka ruang lebih luas pula bagi kaum vandalis untuk bergabung dengan muralis memperindah kota. "Silakan corat-coret di dinding, tapi lebih bermakna dan bermanfaat, bukan hanya mengganggu keindahan kota," ujarnya.(Hari D utomo)

Kredit

Bagikan