Kelompok Seni Udeido Pamerkan 'Mairi', Upaya Mengobati Papua

user
agung 04 Oktober 2019, 11:22 WIB
untitled

YOGYA, KRJOGJA.com – Mairi disebut-sebut merupakan tempat semacam surga di Papua, tempat yang tidak ada tangisan, tempat di dalamnya semua orang akan merasa bahagia. Hal tersebut kontekstual dengan apa yang terjadi di Papua saat ini, dimana banyak terjadi tangisan dan masyarakat sedang mencari letak Mairi mereka.

Kondisi Papua tersebut coba digambarkan oleh Kelompok Seni Rupa Udeido di pameran yang bertajuk 'Mairi' di Sangkring Art Space, yang dibuka Kamis (3/10/2019). Pemeran ini memerlukan waktu persiapan cukup panjang yakni 2 tahun. Ide pameran ini merupakan inisiatif dari Ignasius Dicky Takndare yang memiliki keinginan mengembangkan potensi anak-anak Papua sekaligus berbicara tentang Papua.

Mairi sendiri merupakan cerita rakyat dari salah satu daerah di Papua yakni Teluk Bintuni. Dalam cerita rakyat ini diceritakan terdapat satu kampung yang mengalami bencana. Perwakilan dari daerah tersebut kemudian dikirim dan diminta menemukan jalan untuk menuju Mairi. Mairi disebut-sebut sebagai tempat semacam surga, tempat yang tidak ada tangisan, tempat yang di dalamnya semua orang akan merasa bahagia.

 “Tema itu dipilih karena sedang banyak bencana alam, masalah, serta isu-isu yang terjadi di Papua saat ini. Oleh karena itulah, kami para seniman Papua merasa prihatin dengan segala hal yang terjadi tersebut. Maka dari keprihatinan itulah kami melaksanakan pameran berjudul Mairi ini,” Betty Adii, seniman asal Deiyai turut menjelaskan.

Sekitar pukul 20.00 WIB pameran ini resmi dibuka oleh Heri Dono dan Prof M Dwi Marianto MFA PhD di Sangkring Art Project. “Saya coba buat pendekatan dengan bergerak dalam kelompok begitu. Saya ingin melalui karya seni dari teman-teman seniman di kelompok ini dapat menyampaikan suara-suara yang mungkin tidak terwakilkan atau bahkan termarginalisasi,” ujar Dicky, lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.

Udeido itu sendiri memiliki arti sejenis daun yang biasa dipakai di daerah Deiyai untuk membalut luka. Usai dibalut menggunakan udeido, biasanya darah yang keluar akan berkurang dan luka akan segera sembuh.

Oleh karena itulah, udeido menjadi nama yang dipilih bagi kelompok seni rupa ini. Hal tersebut dengan tujuan agar melalui karya seni, para seniman dapat menutup bahkan mengobati luka-luka atau masalah-masalah yang selama ini dialami, secara khusus di Papua.

Kelompok Seni Rupa Udeido ini akhirnya terbentuk dengan seluruh anggotanya adalah para seniman dari Papua. Setelah terbentuknya kelompok ini, barulah para seniman yang menjadi anggotanya dikumpulkan untuk mengadakan rapat membahas pameran ini. Di samping kelompok ini, beberapa seniman tamu dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta juga turut diajak untuk berkarya dalam pameran ini.

 “Waktu itu kami mulai dengan teman-teman seniman yang ada di Jogja, kami buat grup, lalu mengadakan banyak rapat. Ketika saya pulang ke Jayapura juga saya kumpulkan teman-teman seniman yang ada disana. Beberapa ide cerita kami kumpulkan lalu jadilah Mairi. Lalu kami bagikan cerita ini ke semua seniman, meminta mereka melihat dan memaknai cerita Mairi, kemudian meminta mereka untuk membuat suatu karya,” tutur Dicky lagi sembari sesekali menyapa pengunjung yang hendak pulang.

Ia mengatakan bahwa saat cerita Mairi ini dibagikan, justru muncul banyak narasi dari para seniman yang terlibat. Diantaranya berbicara tentang lingkungan hidup dan pelanggaran HAM. Maka untuk memperjelas maksud pameran ini, para seniman di kelompok ini mengundang Agung Kurniawan untuk menjadi penulis pameran.

“Tema itu dipilih karena sedang banyak bencana alam, masalah, serta isu-isu yang terjadi di Papua saat ini. Oleh karena itulah, kami para seniman Papua merasa prihatin dengan segala hal yang terjadi tersebut. Maka dari keprihatinan itulah kami melaksanakan pameran berjudul Mairi ini,” Betty Adii, seniman asal Deiyai turut menjelaskan.

Banyaknya dukungan dan bantuan membuat pameran ini dapat terwujud. Salah satu yang tak terlupakan ialah dukungan dari Hapin.

“Sponsor dan dukungan utama kami memang dari Hapin, salah satu Non Government Organization (NGO) yang ada di Belanda. Hapin ini sudah lama mengetahui masalah di Papua dan sudah lama membantu, jadi bukan hanya pameran ini saja,” kata Ina Wossiry, seniman asal Wondama.

Berbagai harapan disampaikan oleh beberapa seniman yang berkarya dalam pameran ini. Namun satu hal yang menjadi kesamaan adalah bahwa pameran ini bukan sekedar pameran biasa, melainkan sebuah doa untuk tanah Papua.

Dicky pun menambahkan satu pesan penting dimana masyarakat Papua ingin didengarkan sebagai manusia yang sama dengan lainnya. Mereka ingin agar cerita mereka melalui karya seni ini didengarkan melalui suara-suara manusia, bukan karena tendensi tertentu.

“Kesannya nano-nano, seperti semua yang ada di Papua, keindahan, kebahagiaan, nestapa, kesedihannya, menyentuh banget. Beberapa karya aku melihatnya juga jadi merasa sakit karena simbol-simbolnya yang kena banget. Jadi ayolah, semua masyarakat Jogja, ke Sangkring Art Project, kita lihat suara hati rakyat Papua dari karya yang hebat-hebat,” kata Vera Isnaini, mahasiswi Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang mengunjungi pameran ini. (Felicia Echie/Mahasiswa UAJY)

Kredit

Bagikan