Hermitianta Prasetya, Tinggalkan Ibukota, Pilih Dirikan Bumdes di Kampungnya

user
agung 26 Maret 2020, 08:56 WIB
untitled

Mimit adalah sosok yang keras kepala. Begitulah  beberapa rekan kerja menilainya. Ia begitu teguh dengan prinsipnya, salah satu wujudnya adalah 'minggat' dari ingar bingar ibukota dan membenahi desa kelahirannya.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, Hermitianta Prasetya Putra (34) yang kerap disapa Mimit datang menggunakan motor matik dan menenteng kamera DSLR miliknya. “Tadi telat habis melayani komplain warga tentang penyesuaian tarif sampah sama motor roda tiga pembawa sampah mogok,” jelasnya tanpa diminta saat ditemui Sabtu (7/3/2020).

Pria berambut gondrong ini menjabat sebagai Direktur Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Mukti Lestari sejak Agustus 2019 lalu. Bersama timnya ia merumuskan program utama Konservasi Poncosari (Konco) yang diturunkan menjadi tiga unit usaha. Ketiganya yakni Konco Pilah (pengelolaan sampah), Konco Plesir (pengelolaan pariwisata), dan Konco Pasar (pengelolaan wirausaha desa). Berhubung baru satu yang efektif berjalan yakni Konco Pilah, maka kini hari-harinya berkutat dengan sampah.

Sosok yang lekat dengan kamera ini kembali ke desa kelahirannya setelah mengadu nasib di perantauan. Ia mengawali karirnya di Jogja, menjadi wartawan foto di Radar Jogja dari tahun 2008 hingga 2010. Pengalaman kerja pertamanya itu dilakukannya sejak sebelum menuntaskan gelar sarjananya di Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Bosan di Ibukota Pilih Gabung Karang Taruna

Selepas lulus pada tahun 2010, ia merantau ke Jakarta mencari pengalaman sebagai fotografer lepas. Nyatanya, gemerlap ibukota tak membuatnya betah menetap.Hanya dua tahun sebelum ia akhirnya memilih pulang ke Bantul pada 2013, setelah merasa bosan hidup di kota. Ia sebenarnya berpikiran untuk menjadi petani saat kembali, namun kedua keluarga besar tak merestuinya. “Kalau mereka sih yang penting saya jadi PNS,” ungkapnya sambal tertawa.

Masih di tahun yang sama, ia akhirnya memilih bergabung dengan Karang Taruna dengan harapan bisa memberikan banyak kontribusi ke Desa Poncosari, Srandakan, Bantul. Selain itu juga sebagai cara alternatif agar ia tetap bisa tinggal di desa meski dilarang bertani.

Nyatanya, bergabung dengan Karang Taruna tak semudah yang ia kira awalnya. Proses adaptasi dengan suasana desa yang lama ditinggalkannya ini cukup membutuhkan waktu.

Meski ber-KTP desa Poncosari namun sejak usia enam tahun ia telah pindah tempat tinggal ke Banguntapan, Bantul yang berjarak 35 kilometer dari sana.

“Semenjak pindah,  ke Poncosari paling saat lebaran aja, walaupun masih sama-sama Bantul, “ ungkap pria kelahiran 21 Februari 1986 ini.

Dirikan Bumdes, Pengelolaan Sampah Jadi Pilihannya

Tiga tahun berselang, ia kembali bertemu kesempatan untuk hijrah, kali ini ke Papua berkat tawaran riset dari UGM dan juga program pemberdayaan masyarakat pelosok dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dirinya  merasa tertantang untuk mempelajari kehidupan masyarakat di daerah tertinggal, tedepan, dan terluar Indonesia.

Ia berada di Papua pada tahun 2016 hingga 2018. “Di Papua aku belajar banyak soal kehidupan desa dan bagaimana pengelolaannya,” tambahnya.

Sepulang dari Papua, ia langsung menginisiasi pendirian Bumdes dan koordinasi dengan kepala desa. “Sudah waktunya, desa ini punya anggaran, sayang banget kan kalau ga dipakai buat sesuatu yang berkelanjutan,” jelasnya dengan penekanan dan semangat.

Hermitianta Prasetya, Tinggalkan Ibukota, Pilih Dirikan Bumdes di Kampungnya

Petugas membawa sampah warga (Dok. Konco Pilah)

Mulailah ia berkoordinasi dengan berbagai perangkat desa dan pemuda. Ia beberapa kali menjelaskan tentang konsep ekonomi sirkular yang diyakininya. Pola yang melingkar dan terus berkelanjutan yang dipercayai membuat tidak ada sampah atau meminimalisir limbah produksi terbuang.

Usaha keras Mimit mengupayakan pendirian Bumdes ini terkenang dibenak Riefkiana Saputri, orang yang kini menjadi Sekretaris Bumdes Mukti Lestari. Menurutnya Mimit adalah sosok yang berpendirian kuat, jika memiliki gagasan akan terus diupayakan. Terlebih jika ia merasa pemikirannya akan membawa banyak manfaat bagi orang di sekitarnya. Bersitegang dengan rekan kerja

Tak jarang, Mimit dan rekan kerjanya bersitegang karena berbeda pandangan. Bahkan rekan kerjanya sampai menitikkan air mata dalam beberapa momen perdebatan. Meski begitu, Mimit selalu tak ingin berlarut-larut dalam masalah emosi, juga tak pernah membawa permasalahan itu keluar forum diskusi.

“Kita sering debat, saya dan teman cewek lain kadang sampai nangis, tapi yang saya salut, dia itu tegas dan keras kalau lagi diskusi aja, ga pernah baper kemudian,” ungkap Niken Andriyani yang menjabat Sekretaris Bumdes Mukti Lestari.

Kini, upaya yang digagas Mimit sejak tahun 2018 telah menampakkan hasilnya. Sejak Konco Pilah dirilis awal tahun 2020, hingga kini telah ada sekitar 200 kepala keluarga (KK)  menggunakan jasanya sebagai wahana pengolahan sampah.

Meski merasa belum cukup puas, ia bersyukur dengan hasil yang mulai nampak. Sampah yang biasanya menumpuk di beberapa sudut pekarangan dan jalan mulai terurai. “Kita targetkan 600 kk di tahun 2020 ini,” ungkap Mimit dengan semangat. (Hammam Izzuddin)

Kredit

Bagikan