'Rahmah, Maghfirah, dan Itqun Minan Nar'

user
danar 24 Mei 2018, 07:51 WIB
untitled

DALAM sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Huzaimah, al-Baihaqie, dan Ibnu Hibban, Rasulullah pernah bersabda bahwa sepuluh hari pertama puasa adalah rahmah (kasih sayang), sepuluh hari kedua merupakan maghfirah (ampunan), dan sepuluh hari yang ketiga adalah itqun minan nar (terbebas dari api neraka). Hadis ini harus diPahami bahwa untuk menuju ketakwaan yang menjadi tujuan puasa, maka seseorang harus melalui proses melatih diri secara fisik, kejiwaan, hingga ruhani.

Proses penyesuaian secara fisik dilalui di sepuluh hari pertama puasa. Dari yang semula biasanya kita makan pagi, siang, sore atau malam, diubah menjadi makan di waktu maghrib dengan berbuka puasa dan makan pagi menjelang subuh atau sahur. Penyesuaian secara fisik ini sebenarnya sangat diperlukan untuk lebih menyehatkan badan kita. Sebagaimana sabda Nabi SAW: Shuumuu tashihhuu (Berpuasalah maka kamu akan sehat).

Hal ini dikarenakan ketika memasuki bulan puasa tubuh kita dilatih untuk berdisiplin dalam mengatur makan dan minum secara tidak berlebihan. Proses pencernaan makanan yang biasanya berlangsung 24 jam sehari tidak pernah berhenti selama sebelas bulan akan dikurangi dan dinetralisir. Penetralisiran ini akan mengatur dan memperbaiki kembali proses metabolisme tubuh menjadi lebih optimal.

Pada saat inilah terjadi proses titik balik pada tubuh kita menjadi lebih sehat dibandingkan sebelumnya. Inilah rahmah (kasih sayang) Allah kepada kita, yang telah membuat aturan ibadah yang menjadikan kita mau tidak mau untuk menyesuaikan pola makan supaya tubuh kita lebih sehat. Karena memang kebanyakan penyakit timbul dari makanan atau pola makan yang tidak sehat.

Jika tubuh kita secara fisik sehat, maka jiwa kita juga akan sehat. Kata pepatah dalam bahasa Latin: "Mens Sana in Corpore Sano" (Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat). Sehatnya badan dan tubuh kita ini harus dijadikan modal untuk menghasilkan jiwa yang sehat dan bersih.

Untuk itulah pada sepuluh hari kedua, kita diharapkan mampu meningkatkan ke jenjang puasa yang selanjutnya, yaitu jenjang puasa yang secara mental mampu menahan diri dari keinginan hawa nafsu yang menyebabkan timbulnya sifat-sifat tercela. Maksiat hati seperti hasud, iri, dengki, dan sombong harus mampu kita hilangkan. Kalau semua sifat jelek dan penyakit hati itu sudah bisa kita hilangkan, maka sudah barang tentu maghfirah (ampunan) Allah akan tercurah selama sepuluh hari yang kedua ini.

Jika sepuluh hari kedua secara mental dan jiwa bisa kita jalani secara baik, maka insyaallah pada sepuluh hari yang ketiga kita akan mampu meningkat pada jenjang ruhani (spiritual). Untuk itu secara hakiki, seseorang yang sudah mampu meningkatkan puasanya ke tahapan ruhani (spiritual) inilah yang akan bisa menangkap lailatul qadar, yaitu sebuah saat di mana kondisi ruh kita mampu beralih ke dalam alam ruhani yang itu lebih baik dibandingkan dengan ibadah lamanya seribu bulan.

Seseorang yang sudah mampu mencapai tahapan ini adalah orang yang hatinya sudah bersih dari segala kotoran dan penyakit hati. Maka dari itu, sudah barang tentu dia akan terbebas dari api neraka (itqun minan nar) di sepuluh hari yang ketiga. Inilah rahasia kenapa Rasulullah di hari-hari terakhir puasa malah lebih banyak dan sering beri'tikaf di masjid karena sudah mulai memasuki alam ruhani dibanding sepuluh hari pertama dan kedua.

Kalau sudah terbebas dari neraka tentu seseorang itu sudah menjadi bersih, terbebas dari segala belenggu dosa, dan menapak kemerdekaan diri di hari yang fitri, yaitu hari raya Idul Fitri.

(H Jazilus Sakhok MA PhD, Wakil Katib Syuriyah PWNU DIY dan Dekan Fakultas Dirasah Islamiyah UNU Yogyakarta)

Kredit

Bagikan