Menutup Lubang Rp 255M

user
Danar W 20 Maret 2023, 08:10 WIB
untitled

Krjogja.com - SALAH satu persoalan di DIY yang selama ini tidak kunjung menemukan pemecahannya adalah bagaimana mendanai pendidikan di tingkat menengah atas. Kepala Bagian Perencanaan Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Suci Rohmadi, memaparkan besaran kekurangan dana operasional sekolah menengah atas yang mencapai kisaran Rp 225M (34%). Sebagai ilustrasi, total anggaran untuk biaya operasional sekolah pada tahun 2022 mencapai Rp 761,25M. Pihak pemerintah sendiri telah mengalokasikan dana sebesar Rp. 506M (66%) untuk biaya operasional sekolah ini, melalui mekanisme BOSNAS dan BOSDA. Siapa yang akan menanggung besaran biaya tersebut?

Tiga alternatif pembiayaan pendidikan

Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, ditegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, melibatkan pemerintah dan masyarakat. Keterlibatan pemerintah terwujud dalam alokasi anggaran (i.e. minimal 20% dari APBN dan APBD). Ini adalah alternatif pertama: pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan. Di satu sisi, pemerintah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan. Kegagalan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan diartikan sebagai bukti pelanggaran HAM - terlebih karena hak memperoleh pendidikan masuk kategori sebagai hak azasi manusia.

Di lain pihak, besaran alokasi dana dari APBN dan APBD tidak selalu mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dana pendidikan. Ini terbukti dengan besarnya minus pendanaan pendidikan di DIY (Rp 255M) di tahun 2022 tersebut. Alternatif pertama untuk pemenuhan biaya operasional pendidikan belum bisa memenuhi.

Sebagai negara yang mendasarkan diri pada ideologi Pancasila, prinsip dasar gotong-royong dan musyawarah untuk mencapai mufakat, sudah semestinya menjadi landasan untuk membangun komunikasi demi kesepahaman. Termasuk di dalamnya adalah cara bagaimana mencari jalan keluar menjawab pertanyaan mendasar: siapa yang akan menanggung besaran biaya pendidikan di tingkat sekolah menengah atas?

Mengacu UU Sisdiknas, sumber pendanaan pendidikan juga bisa berasal dari masyarakat. Dalam implementasinya, pendanaan pendidikan dari masyarakat terbagi ke dalam dua kategori: (a) sumbangan dari pelaku bisnis/industri (Corporate Social Responsibility/CSR) dan (b) dana dari orang tua.

Sejauh mana dana CSR memenuhi kebutuhan untuk memenuhi dana operasional? Berdasarkan pengalaman riil di sekolah-sekolah DIY, partisipasi perusahaan dalam mekanisme CSR sangat minim. DIY bukan merupakan kawasan industri yang memungkinkan sumbangan CSR bagi sekolah-sekolah.

Pertanyaan selanjutnya adalah: sejauh mana para orang tua bisa berperan untuk berkontribusi di dalam memenuhi kebutuhan operasional? Tentu sangat mungkin.

Prinsip gotong-royong

Kekurangan dana sebesar Rp 255M sebenarnya bisa dipenuhi oleh orang tua. Ketika dibagi sama rata untuk 150.000 siswa menengah atas di DIY, akan diperoleh angka Rp. 1,7 juta/persiswa/tahun. Setiap orang tua ikut menanggung Rp 142.000/bulannya. Dengan 66% biaya operasional yang sudah ditanggung pemerintah, pertanyaan reflektif bagi para orang tua adalah: sejauh mana orang tua berkenan untuk untuk berpartisipasi di dalam pemenuhan kebutuhan operasional sekolah?

Kesediaan orang tua untuk berperan aktif di dalam mendukung pendidikan anak-anak menjadi sangat krusial. Sama seperti adagium "jer basuki mawa beya" - untuk memperoleh kemuliaan, kesejahteraan, dan keberhasilan, dibutuhkan modal dan biaya. Yuval Noah Harari, salah satu penulis paling berpengaruh terkait dengan peradaban manusia, mengingatkan: investasi yang paling menjanjikan untuk masa depan yang semakin tidak pasti adalah "membeli pengalaman." Pengalaman macam apa yang mendesak untuk disediakan bagi para generasi muda dalam masa-masa formatif mereka?

Sangat mendesak bagi sekolah-sekolah menengah atas untuk menyediakan bebagai pengalaman belajar yang mengembangkan kepekaan sosial (melalui kolaborasi) dan literasi dan numerasi tingkat lanjut (melalui pembelajaran berbasis persoalan, riset, presentasi, dan publikasi - sejauh memungkinkan). Tanpa ada dukungan dana operasional yang cukup, tidak pernah ada kegiatan-kegiatan yang mendorong kreativitas, merangsang keterampilan berpikir kritis dan ekploratif, dan menggerakkan kemampuan kolaboratif.

Sejauh mana orang tua berkenan untuk untuk berpartisipasi di dalam pemenuhan kebutuhan operasional sekolah? (Markus Budiraharjo, Ed.M., Ed.D. Dosen senior Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma)

Kredit

Bagikan