• Sabtu, 23 September 2023

Indonesia Perlu 'Victim Impact Statement' Demi Keadilan Korban Kejahatan Seksual

- Rabu, 31 Mei 2023 | 11:00 WIB
Ilustrasi.
Ilustrasi.

Krjogja.com - Sistem patriarki yang berjalan dari generasi ke generasi mengakibatkan laki-laki memonopoli seluruh peran dan terkadang membuat perempuan berada di posisi yang direndahkan. Sedikit banyak, budaya patriarki yang berlangsung di Indonesia ini telah mempengaruhi cara pikir masyarakat sehingga hal ini menimbulkan ketimpangan gender dan mengakibatkan konflik yang berujung kepada tindak kekerasan terhadap perempuan. Pada faktanya, terjadi banyak pelanggaran HAM terhadap perempuan, antara lain: diskriminasi gender, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan, dan eksploitasi pada masa perang. Kemudian, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan terjadinya globalisasi, cara orang melakukan kekerasan pun berubah dan mengalami perkembangan.


Kekerasan dewasa ini tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi bisa dilakukan melalui media sosial dengan motif balas dendam. Kasus yang paling meresahkan dan sering terjadi ialah balas dendam menyebarluaskan konten porno berupa foto dan/atau video yang dikenal sebagai revenge porn.


Revenge porn merupakan suatu ancaman terhadap seseorang dalam hal ini perempuan untuk menyebarkan konten pornografi milik pribadi ke dunia maya tanpa adanya persetujuan orang tersebut dengan tujuan merusak reputasi orang tersebut. Meskipun kekerasan seksual ini dilakukan di dunia maya namun dampaknya dapat dirasakan korban secara langsung dan berjangka panjang. Rentetan panjang dampak fisik, psikis, maupun sosial juga harus ditanggung korban revenge porn.


Revenge porn yang terjadi menunjukkan kemerosotan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan dengan adanya motif balas dendam pelaku menyebarkan konten yang bermuatan porno tersebut. Revenge porn bahkan dapat dikatakan melanggar HAM korban tentang hak hidup yang diatur dalam Pasal 9 ayat 2 UU HAM bahwa: setiap orang berhak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Rumusan pasal tersebut menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup damai dan aman tanpa adanya tekanan yang membuat dirinya terganggu serta terpenuhinya haknya lahir dan batin tanpa ada yang boleh melanggarnya selama dia hidup.


Fenomena revenge porn ini ternyata menimbulkan banyak pendapat di masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang masih melakukan victim blaming atau menyalahkan korban atas tersebarnya dokumentasi pribadi tersebut. Perempuan sebagai korban seolah-olah bersalah karena memiliki kehidupan pribadi yang berkaitan dengan seks dan dianggap tidak layak untuk dikategorikan sebagai korban yang harus mendapatkan perlindungan. Hal ini diakibatkan oleh budaya misogini dan seksisme yang terjadi di Indonesia. Pemahaman misogini di masyarakat menempatkan wanita sebagai objek seksual. Selain itu, banyak masyarakat yang berperilaku seksisme, yaitu tindakan merendahkan, menghina, memberikan stereotip dan stigma, serta memperdaya perempuan.


Pelaku revenge porn biasanya berasal dari orang terdekat dalam keluarga, pasangan baik yang sudah menikah maupun belum menikah (pacaran) dan yang hubungannya masih berjalan maupun sudah berakhir. Alasan pelaku melakukan ini juga bisa bermacam-macam, mulai dari sakit hati ditinggalkan, tidak ingin pisah, memaksa rujuk kembali atau menginginkan sesuatu tetapi tidak dituruti, seperti meminta sejumlah uang atau bahkan untuk meminta korban mengirim konten intim lagi. Revenge porn sangat problematik karena mengindikasikan seolah korban yang berbuat salah terlebih dahulu kepada pelaku sehingga pelaku berhak untuk melakukan balas dendam melalui ancaman ataupun melakukan penyebaran konten intim tanpa persetujuan korban.


Merujuk dari data Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) Tahun 2021, terdapat kenaikan dari tahun sebelumnya yakni terdapat 288 kasus ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban. Maraknya kasus yang terjadi mengakibatkan ketimpangan hak asasi manusia, khususnya perempuan. Bila peristiwa-peristiwa ini diabaikan akan mengakibatkan semakin maraknya kasus yang sama dan merosotnya perlindungan hak asasi perempuan. Perlu menjadi perhatian bahwa pembuatan materi konten pornografi memang dibuat untuk koleksi pribadi bukan untuk kepentingan komersil ataupun konsumsi publik, jika kemudian tersebar karena ulah pelaku dengan motif balas dendam atau tanpa persetujuan dari orang yang berada didalam konten tersebut, maka perbuatan itu jelas merupakan tindakan melanggar hak privasi orang.


Mirisnya, keadilan hukum dianggap sudah ditegakkan apabila pelaku tindak pidana dijatuhi sanksi sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku, padahal ada hal yang jauh lebih penting untuk mendapatkan perhatian, yaitu pemulihan atas penderitaan yang dialami korban karena perbuatan pelaku. Bahkan, dalam beberapa kasus justru pihak perempuanlah yang selalu menjadi sorotan untuk dipersalahkan. Mengutip pendapat Leslie Lipton dalam buku Didik M Arief Mansur, fungsi negara yang paling asli dan tertua adalah memberikan perlindungan, sebab negara dibentuk oleh individu-individu untuk memperoleh perlindungan dan negara harus terus berupaya untuk mempertahankan dan memelihara tujuan tersebut.


MASALAH DAN ANALISIS HUKUM
Selama ini baik hukum materiil maupun hukum formil belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap korban. Adanya peraturan perundang-undangan seperti UU ITE, UU Pornografi, UU HAM, UU Perlindungan Saksi dan Korban, KUHP, dan peraturan perundang-undangan lainnya belum cukup untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi korban revenge porn. Perlakuan terhadap korban selama proses peradilan pidana merupakan gambaran perlindungan terhadap korban. Setelah perkara memasuki proses pengadilan, korban revenge porn tidak lagi diperhatikan sebagai pihak yang paling dirugikan, korban hanya dipandang sebagai saksi terhadap pelanggaran hukum pidana yang terjadi.
Padahal perlindungan korban revenge porn menjadi penting karena: a) harkat dan martabat korban telah direndahkan; b) korban mengalami penderitaan psikis yang berkepanjangan; c) cara yang digunakan pelaku melakukan kejahatan dengan menyebarkan di internet akan selalu meninggalkan jejak yang tidak dapat dihapus dan dapat diakses dan diperbanyak oleh siapa saja; d) korban harus mendapatan ganti kerugian berupa restitusi, kompensasi, bantuan medis, konseling, dan bantuan hukum.


Kerugian-kerugian yang dialami korban ini menimbulkan kerusakan substansial dari hak asasi manusia yang merupakan hak mendasar pada diri manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.


Revenge porn jelas merupakan bentuk nyata dari adanya pelanggaran hak asasi dan juga merupakan diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 Convention on the Elemination of All Forms Discrimination Againts Women (CEDAW) menyatakan bahwa, “Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil, atau apapun oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Indonesia meratifikasi CEDAW melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.


Indonesia sebagai negara hukum tentunya perlu untuk memberi perlindungan secara penuh kepada korban dengan cara menghukum para pelaku, memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban sehingga hak individu mereka tidak terabaikan termasuk hak asasi perempuan. Saat ini Indonesia memang belum mengatur mengenai Victim Impact Statement dalam hukum positifnya, namun Victim Impact Statement dapat menjadi pertimbangan dalam criminal justice system sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap korban revenge porn.


Pelaku tidak cukup hanya dipidana penjara saja, tetapi bagaimana upaya pelaku untuk memulihkan kembali korban karena nama baik korban sudah dirusak oleh pelaku. Victim impact statement dapat menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menanyakan apa yang sebetulnya menjadi keinginan korban sehingga dapat menjatuhkan hukuman terhadap pelaku dengan memenuhi rasa keadilan terhadap korban.


PENUTUP

Hukum dinilai mengandung keadilan tergantung dari ada atau tidaknya hak asasi manusia yang terkandung didalamnya. Hukum yang baik tidak hanya berbicara mengenai kekuasaan semata, tetapi juga harus memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya. Korban dari suatu kejahatan merupakan pihak yang paling dirugikan dan menderita akibat adanya perbuatan seseorang dan oleh karena itu sudah sewajarnya perlindungan terhadap korban merupakan hal yang mutlak untuk diberikan mengingat yang terjadi merupakan pelanggaran yang mencederai hak-hak korban.

Halaman:

Editor: Agusigit

Tags

Terkini

Lansia dan Bonus Demografi Kedua di Indonesia

Kamis, 14 September 2023 | 08:51 WIB

Peningkatan Rasio Pajak

Selasa, 12 September 2023 | 22:30 WIB

Nasib UMKM di era Revolusi Industri 4.0

Selasa, 12 September 2023 | 14:20 WIB

Agile Leadership untuk Membangun Ketangkasan Organisasi

Senin, 11 September 2023 | 18:40 WIB

Digipay Satu, Solusi Digitalisasi Belanja Pemerintah

Senin, 11 September 2023 | 16:24 WIB

Azan Toleran Cermin Masyarakat Temanggung Moderat

Rabu, 30 Agustus 2023 | 16:45 WIB

Harga BBM

Minggu, 27 Agustus 2023 | 21:30 WIB

Politisasi Kemiskinan

Jumat, 25 Agustus 2023 | 20:37 WIB

Pengelolaan DHE

Kamis, 24 Agustus 2023 | 07:50 WIB

Ekonomi Sirkular

Sabtu, 19 Agustus 2023 | 08:10 WIB

Sanering dan Redenominasi

Jumat, 7 Juli 2023 | 04:08 WIB

Bank Indonesia

Rabu, 5 Juli 2023 | 08:24 WIB
X