Krjogja.com - MASALAH stunting masih menjadi point utama pemerintah untuk dapat diselesaikan. Berbagai upaya sudah dilakukan dengan melibatkan lintas sektoral dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah secara konsisten melakukan upaya penurunan stunting, agar dapat diejawantahkan tidak hanya di kota besar tapi juga di seluruh wilayah Indonesia.
WHO melalui Sustainable Development Goals (SDG) 2 mentargetkan zero stunting di 2030 untuk anak baduta (bawah dua tahun) di setiap negara, dengan target batas prevalensi maksimal 2,3%. Kebijakan yang diterapkan WHO antara lain dengan meningkatkan identifikasi, pengukuran dan identifikasi faktor risiko stunting, mengakomodir aktifitas-aktifitas pencegahan stunting, menerapkan target stunting nasional sesuai target WHO, menerapkan kebijakan penguatan intervensi untuk meningkatkan kondisi kesehatan dan nutrisi maternal sejak dini dimulai dari remaja putri, implementasi intervensi meningkatkan ASI eksklusif dan praktik pemberian MPASI, serta penguatan intervensi dengan basis komunitas meliputi WASH (improved Water, Sanitation, and Hygiene) untuk melindungi anak dari diare dan malaria, penyakit parasite serta penyebab lingkungan yang rentan infeksi.
Penguatan metode untuk menilai secara akurat kasus stunting, melalui perencanaan dan monitoring yg efektif, akan mempengaruhi keberhasilan program. Tahun 2021, melalui Perpres no 72 tahun 2021, presiden mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Percepatan Penurunan Stunting, dengan tidak hanya menyasar pada anak, namun juga mulai dari remaja dan ibu hamil. Berbagai upaya telah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia.
Tidak tertinggal pula di kota Semarang, dengan berbagai programnya seperti Si Bening, DASHAT, rumah pelita, serta Gerakan orang tua asuh bagi anak stunting dengan sosial ekonomi miskin. Upaya tersebut membuahkan hasil penurunan prevalensi stunting hingga 10% di 2022-2023 ini. Namun akankah penurunan stunting ini mencapai zero stunting di 2030?
Bahkan Pemerintah Kota Semarang mentargetkan zero stunting di 2024. Hal ini merupakan tantangan besar, melihat sampai Maret 2023 ini jumlah anak stunting masih cukup tinggi, walaupun dengan persentase menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Tantangan yang dihadapi khususnya di Kota Semarang yakni bagaimana mencapai target zero stunting, serta bagaimana sustainability atau keberlanjutan dari upaya yang sudah dilakukan. Dalam menangani stunting perlu melihat beberapa faktor yang mendasari, salah satunya sosial ekonomi.
Penanganan stunting dengan sosial ekonomi miskin akan berbeda dengan sosial ekonomi menengah bahkan sampai tinggi. Kemiskinan menjadi momok yang merupakan lingkaran setan yang berimbas pada kesehatan. Pada anak dengan sosial ekonomi miskin, tidak ada biaya untuk belanja kebutuhan dasarnya, apalagi untuk menyediakan makanan bergizi dan memberikan praktik makan sesuai standar. Sehingga upaya yang dilakukan secara aktif hanya memberikan subsidi makanan siap saji untuk anak yang stunting setiap harinya.
Tantangan lain pada anak dengan sosial ekonomi miskin yakni selain pemenuhan gizi, penyediaan lingkungan layak huni, juga penanganan kondisi penyakit yang diderita. Tidak sedikit anak stunting dengan sosial ekonomi miskin mengalami penyakit infeksi seperti tuberculosis, diare, pneumonia. Kondisi tersebut pastinya akan berpengaruh pada pertumbuhannya atau stunting. Monitoring kondisi fisik ataupun lingkungan pada anak dengan sosial ekonomi miskin sudah seharusnya menjadi fokus pada sustainabilitas program.
Hal ini berbeda lagi pada anak stunting dengan sosial ekonomi menengah ke bawah sampai tinggi. Pada keluarga yang masih bisa mencukupi kebutuhan dasarnya akan sandang, pangan, dan papan, faktor risiko terbesar terdapat pada perilaku praktik pemberian makan yang meliputi ketersediaan pangan sesuai anjuran pemenuhan gizi anak, penjadwalan makan, teknis tatacara pemberian makan, serta higienitas dalam praktik makan. Pada kondisi ini, peran tenaga kesehatan dalam edukasi praktik pemberian makan menjadi fokus rekomendasi dalam penanganannya.
Tantangan sustainabilitas program penurunan stunting akan terjawab dengan melihat kondisi tersebut di atas. Memahami kondisi setiap individu dan keluarganya, dengan menemukan masalah dari setiap individu akan dapat memberikan solusi yang tepat bagi mereka. Terutama pada anak stunting dari sosial ekonomi menengah sampai tinggi, perubahan perilaku menjadi sasaran intervensi.
Apabila setiap keluarga mengetahui adanya perilaku yang salah dari dirinya dalam pengasuhan anaknya sehingga menyebabkan anak stunting, akan lebih mudah dalam merubah perilakunya. Monitoring yang lebih detail terkait perilaku praktik makan, jumlah asupan gizi melalui food recall, serta status gizi secara periodik akan menjadi rekomendasi yang dapat diterapkan.
Tantangan yang muncul dalam pelaksanaan monitoring tersebut yakni keterbatasan tenaga untuk menjangkau seluruh individu, serta instrument praktis yang dapat mengukur perilaku praktik makan, food recall, dan status gizi. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan juga fasilitas kesehatan, mengingat pendampingan bagi keluarga dengan anak stunting belum sedetail itu.
Pendampingan yang dilakukan seyogyanya menjawab permasalahan masing-masing individu dan keluarga pada anak dengan stunting sesuai hambatan dan permasalahannya. Sehingga dengan penanganan yang tepat akan menjamin sustainabilitas upaya penurunan stunting dan mencapai target zero stunting.
