• Selasa, 26 September 2023

Masih perlukah Pembukaan Fakultas Kedokteran di Pulau Jawa?

- Selasa, 30 Mei 2023 | 10:31 WIB
Ilustrasi. Foto: Ist
Ilustrasi. Foto: Ist

PROFESI dokter di Indonesia saat ini dinilai masih merupakan profesi yang menjanjikan bagi sebagian masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan selalu terpenuhinya kuota penerimaan mahasiswa baru Fakultas Kedokteran (FK) di seluruh Indonesia baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan rasio pendaftar dan yang diterima masih cukup tinggi. 

     

Hal ini membuktikan profesi Dokter masih sangat diminati  generasi muda. Namun meskipun begitu, beberapa waktu yang lalu muncul isu terkait jumlah dokter di Indonesia yang masih belum sesuai dengan standar WHO.

Menurut WHO, jumlah dokter yang ideal adalah 1: 1.000 penduduk. Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 270 juta, jadi kebutuhan jumlah dokter di Indonesia seharusnya 270.000. 

 

Menurut data Kemenkes jumlah dokter di Indonesia sekarang ini 140.000 sehingga masih ada kekurangan 130.000 dokter.  Rata-rata jumlah lulusan dokter pertahun hanya 12.000 sehingga untuk mengejar kekurangan kebutuhan dokter yang ideal menurut WHO membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun, belum ditambah lagi dengan pertambahan jumlah penduduk pada kurun waktu tersebut. 

 

Banyak kalangan masyarakat yang berpendapat perlunya segera dilakukan pembahasan serius terkait isu tersebut. Pemerintah tampaknya sigap merespon pendapat-pendapat yang santer dari berbagai kalangan masyarakat. Isu kurangnya dokter di Indonesia telah mandapatkan perhatian khusus dari pemerintah dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendikbudristek Nadiem Makarim dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin 12 Juli 2022. SKB ini berisi Peningkatan Kuota Penerimaan Mahasiswa Program Sarjana Kedokteran, Program Dokter Spesialis dan Penambahan Program Studi Dokter Spesialis melalui Academic Health System (AHS).

 

Penandatanganan SKB tersebut diinisiasi oleh Komite Bersama Kemdikbudristek dan Kemkes sebagai bentuk upaya akselerasi pemenuhan kebutuhan dokter dan dokter spesialis yang merata di seluruh Indonesia berbasis kolaborasi lintas stakeholders, yang merupakan salah satu fokus transformasi sistem kesehatan. Selain penambahan kuota mahasiswa baru program sarjana kedokteran, juga telah dilakukan upaya pembukaan program studi/Fakultas Kedokteran baru di Indonesia yang pada periode sebelumnya telah dinyatakan moratorium karena dinilai sudah terlalu banyak.

 

Jumlah Fakultas Kedokteran di Indonesia saat ini ada 92 dimana lebih dari setengahnya berada di Pulau Jawa. Sebaran Fakultas Kedokteran di Indonesia yaitu di DKI Jakarta  13 FK, di Jawa Barat dan Banten  7 FK, di Jawa Tengah 9 FK, di  DIY 5 FK, dan di Jawa Timur 13 FK. Totalnya ada 47 FK berada di Pulau Jawa saat ini. 

 

Wilayah lain di Indonesia tercatat tidak sebanyak di Pulau Jawa, sebagai contoh di Sumatra 21 FK, di Kalimantan 4 FK, di Sulawesi 9 FK, di Bali, Papua, Maluku, Nusa Tenggara  11 FK. Dari data tersebut menunjukkan sebaran Fakultas Kedokteran di Indonesia masih belum merata. 

 

Dari data sebaran FK tersebut dapat dibayangkan betapa banyaknya FK di pulau Jawa saat ini dan untuk waktu mendatang masih sangat mungkin bertambah jumlahnya dengan kebijakan baru dibukanya kesempatan  pendirian FK baru di Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah dengan kebijakan pembukaan kembali moratorium pendirian FK ini dapat segera menyelesaikan masalah kekurangan jumlah dokter di Indonesia?

 

Kebijakan tersebut pastinya akan menimbulkan efek positif dan negatif. Efek positif adalah semakin banyaknya kuota penerimaan mahasiswa kedokteran sehingga bisa mempercepat pemenuhan kebutuhan jumlah dokter di Indonesia. Efek negatif yang mungkin muncul antara lain semakin ketatnya persaingan antar FK khususnya di pulau Jawa dalam hal seleksi penerimaan mahasiswa baru yang bisa saja menimbulkan persaingan yang kurang sehat antar FK terutama pada FK PTS, karena tidak bisa dipungkiri bahwa  mahasiswa yang diterima adalah mereka yang tidak diterima di FK PTN. Semua FK PTS tentunya akan melakukan berbagai upaya agar kuota mahasiswanya bisa terpenuhi di tengah ketatnya persaingan tersebut, sehingga akan sangat memungkinkan adanya penurunan standar kriteria dalam hal seleksi penerimaan mahasiswa baru. Hal ini juga berkaitan dengan mutu lulusan, apabila kualitas input mahasiswa yang diterima kurang baik maka sangat sulit untuk mempertahankan mutu lulusannya. 

 

Efek negatif lainnya terkait penumpukan lulusan dokter yang terpusat di Pulau Jawa. Seperti yang kita ketahui, kekurangan jumlah dokter paling banyak adalah di daerah terpencil terutama di luar pulau Jawa. Selama ini banyak mahasiswa kedokteran dari luar pulau Jawa yang menempuh pendidikan di Jawa, namun setelah lulus tidak sedikit yang enggan kembali ke daerahnya dengan berbagai alasan, salah satunya karena mereka merasa lebih nyaman tinggal dan bekerja di pulau Jawa. Tampaknya belum banyak tawaran yang menarik bagi mereka untuk kembali ke daerah asalnya. Apabila isu pemerataan penempatan lulusan dokter di Indonesia tidak berjalan dengan baik maka sangat mungkin terjadi penumpukan lulusan dokter di wilayah tertentu di Indonesia, di pulau Jawa khususnya. 

 

Alternatif solusi dari permasalahan ini adalah perlunya peninjauan kembali terkait regulasi pembukaan moratorium pendirian FK di Indonesia. Pemberian ijin pendirian FK akan lebih baik diutamakan untuk institusi pendidikan kedokteran di luar Jawa yang notabene jumlah FK masih jauh lebih sedikit dibandingkan di Jawa agar sebaran FK bisa lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. 

 

Pemberian beasiswa disertai penandatanganan pakta integritas bagi putra daerah juga bisa dipertimbangkan menjadi solusi isu kekurangan dokter di daerah terpencil terutama di luar pulau Jawa. Sebab saat mereka lulus dokter kelak maka mereka inilah yang akan menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil yang selama ini sepi peminat. 

 

Harapannya putra-putra daerah inilah yang akan benar-benar mengabdi untuk meningkatkan derajat kesehatan warga masyarakat di daerah terpencil. Tentunya harus diimbangi dengan penghargaan dan pendapatan yang layak dan seimbang untuk kerja keras mereka. Salah satu bentuk penghargaan untuk dokter yang mau mengabdi di daerah terpencil adalah adanya kesempatan untuk bisa mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan dokter spesialis setelah menjalani pengabdian untuk periode waktu tertentu yang sudah ditetapkan. Hal ini tentunya bisa menjadi daya tarik bagi dokter umum yang mau mengabdi di daerah terpencil tersebut dan secara tidak langsung juga akan dapat menyelesaikan masalah kekosongan dokter di daerah terpencil. *

 


-



 

Oleh: Merry Tiyas Anggraini,

- Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang, 

- Mahasiswa S3 Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret

Editor: Agusigit

Tags

Terkini

Lansia dan Bonus Demografi Kedua di Indonesia

Kamis, 14 September 2023 | 08:51 WIB

Peningkatan Rasio Pajak

Selasa, 12 September 2023 | 22:30 WIB

Nasib UMKM di era Revolusi Industri 4.0

Selasa, 12 September 2023 | 14:20 WIB

Agile Leadership untuk Membangun Ketangkasan Organisasi

Senin, 11 September 2023 | 18:40 WIB

Digipay Satu, Solusi Digitalisasi Belanja Pemerintah

Senin, 11 September 2023 | 16:24 WIB

Azan Toleran Cermin Masyarakat Temanggung Moderat

Rabu, 30 Agustus 2023 | 16:45 WIB

Harga BBM

Minggu, 27 Agustus 2023 | 21:30 WIB

Politisasi Kemiskinan

Jumat, 25 Agustus 2023 | 20:37 WIB

Pengelolaan DHE

Kamis, 24 Agustus 2023 | 07:50 WIB

Ekonomi Sirkular

Sabtu, 19 Agustus 2023 | 08:10 WIB

Sanering dan Redenominasi

Jumat, 7 Juli 2023 | 04:08 WIB
X