Krjogja.com - Dunia pendidikan di Indonesia dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi beberapa tahun ini terasa semakin dinamis dengan adanya berbagai kebijakan dalam bentuk beberapa program yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Agaknya, dinamisnya kehidupan dengan berbagai tantangannya mendorong para pembuat kebijakan untuk menentukan langkah-langkah strategis dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dari Kurikulum Merdeka, Program Merdeka Belajar, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), hingga Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya (MBMB). Pertanyaannya, sejauh mana kebermanfaatan dan praktik baik program-program tersebut sudah dirasakan oleh peserta didik maupun pendidik? Sudahkah tepat sasaran atau malah bagaikan buih di tengah lautan yang tak tahu arah dan tujuan?
Program-program tersebut adalah gagasan cemerlang dari pemerintah. Serangkaian ide gemilang yang tentunya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun tak bisa dipungkiri, tetap ada problematika di dunia pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, di tengah implementasinya.
Gap atau kesenjangan antara kampus besar dan kampus kecil yang menghambat penerapan Program MBKM, masih menjadi PR. Mahasiswa kampus kecil, terutama kampus swasta, nyatanya tak semerdeka mahasiswa PTN dan PTS besar dalam implementasi MBKM. Kampus besar dengan pilihan jurusan atau program studi yang lebih banyak tentu memiliki berbagai fasilitas yang lebih memadai. Seperti perpustakaan besar dengan koleksi lengkap, laboratorium berteknologi terkini, hingga berbagai sarana dan prasarana lainnya. Ketercapaian program di kampus besar dan kampus kecil tentu juga akan berbeda.
Ketika kebijakan Merdeka Belajar yang kemudian diikuti dengan kebijakan Kampus Merdeka diterapkan, ada beberapa poin yang intinya bertujuan untuk membuat perguruan tinggi lebih leluasa bergerak. Kala itu, Mendikbudristek RI Nadiem Anwar Makarim juga menjelaskan bahwa kebijakan MBKM tersebut pada dasarnya adalah sebuah konsep yang akan memungkinkan mahasiswa mendapatkan kemerdekaan belajar di perguruan tinggi. Tujuannya agar perguruan tinggi bisa mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai bidang keilmuan yang otomatis akan menghasilkan SDM yang lebih unggul dan siap bersaing. Akan tetapi, lagi-lagi perkaranya sama.
Sebagai contoh, Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang dicanangkan Kemendikbudristek sebagai implementasi dari kebijakan MBKM yang menurut saya benar-benar bagaikan angin segar bagi para mahasiswa. Menurut Kemendikbudristek, program PMM ini akan memungkinkan mahasiswa untuk bisa merasakan berbagai pengalaman bermakna yang memperkuat kesatuan dan keberagaman. Mahasiswa akan mendapatkan pengalaman yang menarik, sekaligus persahabatan lintas budaya, suku, agama, dan adat istiadat. Dalam satu program tersebut, para mahasiswa bisa menerapkan MBMB, merdeka belajar sekaligus merdeka berbudaya. Namun, entah apakah angin segar itu bisa dirasakan oleh para mahasiswa di seluruh pelosok Nusantara.
Dari data Kemendikbudristek, Program PMM telah berlangsung dalam dua angkatan, yakni di tahun 2021 dan 2022 dengan total 23.800 mahasiswa. Tahun 2023 ini, pendaftaran PMM Angkatan 3 telah resmi dibuka kembali. Kabar gembiranya, di angkatan 3 ini, Perguruan Tinggi Pelaksana Pendidikan Vokasi (PTPPV) dilibatkan, baik sebagai perguruan tinggi pengirim maupun perguruan tinggi penerima. Tentu saja hal ini juga merupakan secercah harapan bagi PT vokasi, termasuk PT vokasi di kota kecil seperti kami.
Kabar gembira ini tentu patut disambut baik. Namun, hal penting yang harus dibahas di sini adalah seberapa jauh peran kampus dalam membantu dan mendorong para mahasiswanya untuk mengikuti seleksi program ini? Apakah mahasiswa dilepas begitu saja sesuai pilihan dan hasil seleksi, atau masih ada cawe-cawe dari kampus dengan memilihkan perguruan tinggi penerima yang sudah memiliki Memorandum of Understanding ataupun Memorandum of Agreement dengan mereka sebagai perguruan tinggi pengirim?
Lantas, apa kabar kampus kecil seperti tempat saya mengajar? Tentu saja kami punya mimpi bahwa akan ada mahasiswa-mahasiswa dari kampus kami yang bisa merasakan duduk di dalam sebuah kelas di PTN besar seperti UGM. Seandainya Program PMM bisa merangkul semua level perguruan tinggi, mungkin akan ada lebih banyak mahasiswa dari kampus kecil yang bisa merasakan pengalaman sit-in di kelas-kelas dengan pengajar berkompeten di kampus besar tanpa rasa inferior.
Di sinilah, menurut saya, peran kampus dan para pengajar pada khususnya untuk memberikan dukungan kepada para mahasiswanya untuk percaya diri. Mendorong mereka untuk mencoba menembus batas antara kampus kecil yang namanya nyaris tak terdengar dengan kampus besar nan terkenal.
Dari sisi pembuat kebijakan, mungkin akan lebih baik jika ada upaya untuk mengurangi gap antara kampus besar dan kampus kecil. Salah satu cara yang mungkin bisa dilakukan adalah memberikan pendampingan khusus bagi PT swasta di kota-kota kecil untuk mereduksi kesenjangan dengan PT besar. Bisa juga dengan memberikan kuota khusus bagi mahasiswa dari PT swasta kecil dengan kriteria tertentu, tetapi tetap harus melewati serangkaian seleksi. Hal tersebut tentu saja dilakukan demi mewujudkan pemerataan jumlah mahasiswa yang lolos seleksi Program PMM.
Saya meyakini, segala program yang diinisiasi oleh Kemendikbudristek tentu saja merupakan langkah untuk menuju keberhasilan proses pendidikan. Pemerintah mendorong akademisi untuk sigap menghadapi derasnya laju perubahan zaman di era digital, sekaligus meningkatkan kualitas SDM melalui jalur pendidikan. Namun rasanya masih banyak hal yang harus diperbaiki, dari sisi pemahaman maupun penerapan.
Dari sisi pemahaman, memang betul, sudah banyak pelatihan, semiloka, lokakarya, dan lain sebagainya. Namun, apakah semua unsur sudah tersentuh? Apakah semua pihak sudah betul-betul paham atau takut dianggap tidak paham? Dari sisi penerapan, rasanya masih banyak yang perlu diformulasi ulang. Tentu saja demi kualitas pendidikan yang bisa bersaing di dunia yang semakin tak ada batasan ruang.
Novita Purnaningsih, S.S., M.A
Alumnus S-1 dan S-2 FIB UGM, mantan jurnalis di Yogyakarta, pengajar di Politeknik Sawunggalih Aji Kutoarjo.