Krjogja.com - PERKEMBANGAN inflasi di sepanjang tahun 2022 nampak dari Januari (2,18%), Februari (2,06%), Maret (2,64%), April (3,47%), Mei (3,55%), Juni (4,35%), Juli 4,94%), dan Agustus (4,69%). Nampak tren perkembangan inflasi meningkat. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 3,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 5,00%.
Instrumen Moneter
Kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,25% dari Agustus 2022 yang sebesar 3,75% setelah selama 6 bulan sejak Januari 2022 sampai dengan Juli 2022 bertahan pada 3,50%. Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3,0±1% pada paruh kedua 2023, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.
BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) merupakan instrumen BI yang digunakan sebagai suku bunga kebijakan baru karena dapat secara cepat memengaruhi pasar uang, perbankan, dan sektor riil. Suku bunga Deposit Facility adalah suku bunga yang diberikan kepada bank untuk penempatan dana rupiah oleh bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter dengan jangka waktu 1 (satu) hari kerja. Suku bunga Lending Facility adalah suku bunga untuk kegiatan transaksi yang dilakukan oleh bank konvensional dengan agunan SBI, SDBI, dan SBN. Berdasar penjelasan ketiga hal tersebut, nampak penentuan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), Deposit, dan Lending Facility menjadi acuan penting karena pengaruhnya terkait dengan inflasi.
Penghitungan Inflasi
Inflasi yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) ditentukan berdasarkan pengelompokan The Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP) melalui tujuh kelompok pengeluaran yang didapat melalui Survei Biaya Hidup (SBH) dan disagregasi inflasi yang dikelompokan melalui inflasi inti yang dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal, dan ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen serta inflasi non-inti dengan komponen inflasi komponen bergejolak (volatile food) dan inflasi komponen harga yang diatur oleh pemerintah (administered prices). Bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor penawaran dan kejutan diwakili oleh kelompok volatile food dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK sebagai penghitungan inflasi.
Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan agregat (kurang lebih 60%) relatif terhadap kondisi sisi penawaran (kurang lebih 40%). Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespons kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan dan bersifat sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir.
Koordinasi dan Sinergi Kebijakan
Pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik dari kebijakan fiskal, moneter, maupun sektoral. Oleh karena itu, guna menjaga inflasi IHK dalam kisaran sasarannya, maka Bank Indonesia harus memperkuat koordinasi dan sinergi kebijakan dengan pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah dan menjaga ekspektasi inflasi masyarakat, terlebih berdasar data inflasi yang sudah melebihi batas maksimum kisaran sasaran dalam 3 bulan terakhir. (Rudy Badrudin, Dosen Tetap STIE YKPN Yogyakarta, Pengurus ISEI Yogyakarta, dan Peneliti Senior PT. Sinergi Visi Utama)