KETIKA Kedaulatan Rakyat dalam dua hari terakhir ini (KR 23-24/1) menyoroti soal kekhawatiran maraknya investor yang akan merusak alam Gunungkidul, saya juga dapat merasakan hal itu. Sederhana saja, saya juga pernah tinggal di Gunungkidul selama 10 tahun. Karenanya, ketika para investor kini menyerbu daerah tersebut untuk alasan mulia, ‘pengembangan pariwisata’, maka yang terbaca adalah kekhawatiran ‘mengeksploitasi’ Gunungkidul untuk kepentingan bisnis semata.
Banyak kasus daerah wisata yang kini bukan saja rusak alam keindahannya, namun juga rusak kehidupan sosial budayanya. Kisah-kisah daerah wisata yang kini mengorbankan upacara-upacara tradisional untuk dikemas dalam pertunjukkan yang berbau bisnis, sudah banyak terjadi di negeri ini. Wajar kesakralan menjadi hilang. Demikian pula watak dan perilaku warga masyarakat yang terimbas budaya (asing) yang baru.
Gunungkidul adalah salah satu kawasan budaya unik yang perlu ‘dikonservasi’. Kehidupan sosial-budayanya yang guyub, rukun, dengan kuliner khas nya, memang ngangeni. Ini merupakan warisan leluhur yang sampai kini masih dijaga. Budaya sambatan ketika bikin rumah, bersih desa, merti bumi. Juga sinoman, karang taruna, dan tradisi lainnya sangatlah memperkaya khasanah kebudayaan asli Nusantara.
Kehadiran investor (asing) yang konon akan menebar janji-janji kemakmuran, perlu disikapi hati-hati. Dalam dunia bisnis, jelas kental akan adanya paradigma bisnis, yang hanya menekankan keputusan rasional-ekonomis. Sebaliknya dalam model pembangunan yang berwawasan masyarakat, tuntutan publik bukan pada pengambilan keputusan yang rasional-ekonomis belaka. Melainkan lebih kepada pengambilan keputusan yang terbuka, yang mendasarkan kepada masalah etika, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
Pengalaman selama ini, investor yang mengembangkan pariwisata, jarang melaluinya lewat proses yang adil, misalnya dengan jalan memberikan kesempatan dan jalan bagi warga masyarakat untuk berperan serta dalam proses pembangunan tersebut. Padahal pengalaman menunjukkan, pembangunan yang tidak mengikutsertakan masyarakat, sehebat apapun keputusan teknis rasional, di ujungnya tidak akan mampu menafsirkan kebutuhan masyarakat apalagi berbicara masalah keadilan. Akibatnya muncul gejolak sosial yang akan menimbulkan berbagai persoalan serius dalam pembangunan dan dapat merembet ke masalah-masalah politik.
Dampak-dampak sosial yang mungkin timbul dalam pembangunan kawasan wisata adalah : 1). Cara hidup yang terganggu, misalnya cara hidup masyarakat petani (lahan kering) yang harus menyesuaikan diri ke kehidupan menjual jasa; 2). Budaya, termasuk sistem nilai dan norma akan terganggu, misalnya budaya rembug desa, selapanan, sambatan, sinoman bahkan pengajian dan lainnya bisa lenyap karena terjadi perubahan suasana; 3). Renggangnya kohesivitas sosial, karena ada sebagian masyarakat yang makmur, yang lainnya tidak.
Perubahan sosial yang perlu diantisipasi jika (benar) Gunungkidul akan ’disulap’ menjadi daerah wisata adalah perubahan yang mencakup : aspek demografi, sosial ekonomi, institusi dan psikologi, serta sosial budaya. Dampak demografis meliputi angkatan kerja dan perubahan struktur penduduk, kesempatan kerja, perpindahan penduduk. Dampak sosial ekonomi terdiri dari perubahan pendapatan, kesempatan berusaha, pola tenaga kerja. Dampak institusi meliputi naiknya permintaan akan fasilitas umum seperti perumahan, sekolah, sarana rekreasi. Dampak budaya meliputi integrasi sosial, kohesi sosial, keterikatan dengan tempat tinggal dan sebagainya.
Dari titik itulah diperlukan dialog atau komunikasi sosial yang baik antara pihak yang berpotensi menimbulkan dampak (pengusaha/industriawan/pemerintah) dan pihak yang terkena dampak (masyarakat). Kisruhnya (rencana) pembangunan saat ini adalah alpanya dialog sosial yang intens. Kajian lain seperti lingkungan hidup juga mestinya dilaksanakan, karena alam bisa jadi juga akan rusak karena aktivitas berlebihan kepada pembangunan kawasan wisata, disertai penebangan hutan, pengurugan pantai, pengeprasan bukit dan lainnya.