TIMNAS Indonesia kalah agregat 2-3 dari Thailand. Indonesia pun gagal menjadi juara Piala AFF 2016. Gagal pula mimpi menjadi kampiun Asia Tenggara setelah lima kali menembus final pada 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016.
Namun, tangisan mesti berakhir. Keyakinan harus kembali dibangkitkan. Berhasil menembus final sudah hebat. Maklum, persepakbolaan Indonesia baru saja dibekukan FIFA. Persiapan tiga bulan terlalu pendek untuk menaklukkan Thailand, sang raksasa ASEAN.
Alih-alih bersedih, kita justru wajib bersyukur. Timnas berhasil menghentak kesadaran kita sebagai bangsa tentang pentingnya bersatu dan menyatu, persatuan dan kesatuan. Kesuksesan di tengah krisis kebangsaan dan isu SARA, termasuk beberapa peristiwa di Yogyakarta, seperti dikehendaki Allah untuk menyadarkan bangsa ini.
Mengutamakan Kebhinekaan
Keberhasilan Timnas masuk final Piala AFF 2016 menyodorkan contoh konkret tentang persatuan-kesatuan Indonesia dan praktik nyata kebhinekaan. Di antara 22 nama pemain dari berbagai latarbelakang suku dan agama, kapten tim dipercayakan kepada Boaz Solossa (Papua-Kristen). Pertimbangannya tentu karena ia berpengalaman, matang emosi, dan mampu memimpin rekan-rekannya saat bertanding. Tak ada protes. Suku dan agama tidak dipersoalkan demi tercapainya tujuan bersama.
Gol-gol pun tak perlu dimasalahkan apa suku dan agama para pencetaknya. Semua gol dibutuhkan untuk meraih kemenangan. Yang penting, gol itu sah dan dihasilkan lewat caracara yang dibenarkan menurut peraturan sepak bola.
Sepak bola menjadi ruang maha luas tempat Bangsa Indonesia menyalurkan rindu dan hasratnya tentang kebersamaan. Ia menjadi wahana menumpahkan kegembiraan dan harapan. Ia menjadi rumah besar yang bawera : luas, lapang, dan tak bersekat. Siapa pun boleh masuk karena sama-sama beridentitas Indonesia.
Sepak bola terbukti netral. Berbagai sentimen primordial dileburkan. Perbedaan suku, agama, bentuk rambut, warna kulit, dan status sosial ditanggalkan.Semua bersatu dan menyatu. Tidak ada aku-kamu-mereka, yang ada kita yang satu.