Kenaikan Tarif Ojol Ancam Inflasi dan tak Jamin Peningkatan Kesejahteraan

user
tomi 06 Mei 2019, 14:42 WIB
untitled

JAKARTA, KRJOGJA.com - Kenaikan tarif ojek online (Ojol) yang berpedoman pada Keputusan  Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. 348 Tahun 2019 tidak menjamin terjadinya peningkatan  kesejahteraan pengemudi. Sebaliknya, kenaikan tarif justru bisa menggerus permintaan Ojol  hingga 75%, yang akhirnya bisa berdampak negatif pada pendapatan pengemudi.

Hal tersebut terungkap pada peluncuran hasil survei 'Persepsi Konsumen terhadap  Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia' yang diselenggarakan oleh Research Institute of Socio- Economic Development (RISED).

Ketua Tim Peneliti Rumayya Batubara, Ph.D menjelaskan, tarif baru yang diatur Pemerintah per 1 Mei 2019 ini tidak mencerminkan tarif yang akan dibayar oleh konsumen. “Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub No. 348 tahun 2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima  pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi, mengingat harus  ditambah biaya sewa aplikasi,” jelas Rumayya.

Kenaikan Tarif Ojol Ancam Inflasi dan tak Jamin Peningkatan Kesejahteraan

Ekonom Unair tersebut mencontohkan bahwa dengan asumsi tambahan biaya sewa aplikasi  sebesar 20%, tarif batas bawah yang harus dibayar oleh konsumen di Jabodetabek adalah  sebesar Rp 2.500/km, bukan seperti yang tertera di Kepmenhub yang menyatakan Rp 2.000/km. Kemudian, dari hasil survei RISED didapatkan kenaikan tarif berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen setiap harinya.

Menurut RISED, jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 7-10 km/hari. Di Zona I (Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera), 8-11 km/hari di Zona II (Jabodetabek),  dan 6-9 km/hari di Zona III (wilayah sisanya). Dengan skema tarif yang berpedoman pada  Kepmenhub tersebut dan jarak tempuh sejauh itu berarti pengeluaran konsumen akan bertambah 

sebesar Rp 4.000-11.000/hari di Zona I, Rp 6.000–15.000/hari di Zona II, dan Rp 5.000- 12.000/hari di Zona III.

"Bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan  kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh 4 km ke bawah. Jangan lupa tarif minimum juga  mengalami peningkatan. Misalnya di Jabodetabek dari sebelumnya Rp 8.000 menjadi Rp 10.000-12.500,” jelas Rumayya.

BACA JUGA :

Tarif Tinggi, Kesejahteraan Mitra Ojol bisa Terganggu

Hasil Riset LD FEB UI : Teknologi Percepat Akselerasi Ekonomi

Rumayya mengatakan, bertambahnya pengeluaran sebesar itu akan ditolak oleh 47,6%  kelompok konsumen yang hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk Ojol maksimal Rp 4.000-5.000/hari. Bahkan, sebenarnya ada pula 27,4% kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.  "Total persentase kedua kelompok tersebut  mencapai 75% secara nasional. Jika diklasifikasikan berdasarkan zona maka besarannya adalah  67% di Zona I, 82% di Zona II, dan 66% di Zona III,” tambah Rumayya.

Sementara itu, Ekonom UI Dr. Fithra Faisal menyayangkan momentum kenaikan tarif Ojol yang  terjadi sebelum Bulan Ramadan. Seperti diketahui, inflasi cenderung meningkat saat  Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri tiba, menyusul tingginya permintaan masyarakat bagi sejumlah komoditas seperti makanan/minuman dan sandang.

"Kenaikan tarif ojol yang cukup  tinggi tentunya akan berkontribusi bagi semakin tingginya tingkat inflasi. Apalagi berdasarkan  hasil survei RISED, biaya pengeluaran transportasi sehari-hari berkontribusi sekitar 20% bagi  pengeluaran konsumen per bulannya,” ujar Fithra.

Kenaikan Tarif Ojol Ancam Inflasi dan tak Jamin Peningkatan Kesejahteraan


Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan publik  tentang respon konsumen terhadap kebijakan kenaikan tarif yang berpedoman pada Kepmenhub  No. 348 tahun 2019, sekaligus memberikan gambaran terkait willingness to pay (kesediaan  membayar) konsumen terhadap layanan Ojol.

Pelaksanaan survei dilaksanakan pada 3.000 konsumen pengguna Ojol yang tersebar di 9  wilayah di Indonesia yang mewakili ketiga zona yang diatur di dalam Kepmenhub tersebut yakni Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan  Malang. Waktu penelitian dimulai dari 29 April hingga 3 Mei 2019, sedangkan nilai margin of error survei berada di kisaran 1,83%. (*)

Kredit

Bagikan