Awas Muncul Hoax, Tuduh Ada Partai Berbaju Komunis dan Teroris

user
Primaswolo Sudjono 31 Januari 2023, 06:14 WIB
untitled

Krjogja.com - YOGYA - Seluruh partai yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh perundang-undangan. Termasuk memenuhi ketentuan UU No 2 Tahun 2008, dan diperbarui UU no 2/2011 tentang Partai Politik.

Demikian ditegaskan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY, M Najib, terkait peran negara menyeleksi partai politik yang ikut dalam Pemilu 2024 mendatang. Namun diakui Najib, kemungkinan sejumlah pihak melakukan penyebaran hoax yang menyerang partai peserta pemilu bisa saja terjadi dengan karakter masyarakat Indonesia yang mudah menelan informasi tanpa melakukan pengecekan. Hoax menyesatkan dengan mencap partai tertentu dan berbaju komunis, teroris, Islam fundamentalis yang terjadi di Pemilu 2019, jangan sampai terjadi kembali di Pemilu 2024 mendatang

Menurut Najib, parpol yang berlaga di Pemilu berasaskan Pancasila. Sesuai bunya pasal 1 UU No 2/2008, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Baca Juga

Keturunan Arab, Cina Bisa Jadi Capres dan Cawapres RI

KPU Tetapkan 17 Parpol Peserta Pemilu 2024, 6 Parpol Lokal Aceh

Dengan ketentuan ini, maka partai yang bealiran komunisme, terorisme atau lainnya, tentu tidak lolos seleksi KPU. “Karena jangan menuduh partai lain atau membuat hoax yang menyudutkan para peserta pemilu dengan isu-isu yang tidak benar,” ujar Najib.

Mantan Anggota KPU DIY ini melihat pembuat hoax yang menyesatkan itu biasanya dilakukan buzzer dan influinzer yang motifnya lebih pada ekonomi. Najib tidak yakin hoax dilempar oleh partai politik untuk membusukkan partai yang lain.

“Masyarakat harus paham dengan permainan hoax ini. Sehingga tidak mudah menelan informasi begitu saja,” ujar Najib.
Namun persoalannya, kata Najib, sangat sedikit masyarakat untuk menilai sebuah informasi, apakah hoax atau tidak. Problemnya, masyarakat masih sedikit yang punya kemampuan, langsung menelan begitu saja. “Kami yakin di pemilu 2024, masih menjadi sesuatu yang menggejala di masyarakat, “ ungkapnya.
Sepanjang informasi sesuai dengan yang diharapkan (meski hoax), kata Najib, maka dinilai sebuah kebenaran. Percaya tanpa kemudian menguji kebenaran itu.
Memungkinkan terjadi, orang itu yakin terhadap berita-berita sepanjang seseuai yang diinginan. Sepanjang berita itu kebaikan pada calon yang didukung apapun dianggap sebagai kebenaran. Kemudian jika informasi itu sebuah kekurangan terhadap calon yang didukung, meskipun infonya valid, maka dianggap tidak benar.
Menurut Najib, masyarakat perlu dikuatkan terus karena sebagian besar masih belum bisa memahami, mencerna, mana yang hoax dan bukan hoax. Butuh ada sesi untuk penguatan di situ. Ada sesi di mana masyarakat melakukan cross check benar atau tidak. “ Karena itu, literasi kepada masyarakat harus dilakukan terus,” tambahnya.
Sosialog UGM, Dr Arie Sujito MSI mengemukakan, partai yang sudah dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2024, tentunya sudah melalui proses seleksi. Karena itu, saat ini yang perlu dilakukan membangun kepercayaan kepada lembaga-lembaga penyelenggara pemilu.
Meski demikian, lembaga penyelenggara pemilu tetap diawasi oleh publik. Ada landasan hukum yang dipakai, publik juga berwenang untuk mengawasi. Tinggal bagaimana publik melakukan pengawasan untuk tujuan pemilihan yang sehat, demokratis, kualitas lebih baik.
Wakil Rektor III UGM ini mengakui bahwa memang godaan untuk memunculkan isu-isu yang sebetulnya lagu lama. Stigmanisasi, identitas, selalu dipanggil, tujuannya untuk menebar isu . Yang penting isu yang dilempar itu laku dimasyarakat.
“Itu hanya lempar isu saja. Belum tentu sebagai isu publik, laku. Dilempar 1-2 orang, ada yang beli ada yang tidak?,” ujar Dr Arie.
Agar kebal terhadap isu-isu yang menyesatkan, masyarakat membutuhkan literasi publik. Sehingga lemparan isu itu tidak langsung dibeli oleh masyrakat atau publik. Atau digoreng-goreng, tetap kemudiani tidak mempan.
Menurut Dr Arie, kuncinya dalam pelaksanaan Pemilu, dengan tidak melihat semata-mata pemilu sebagai prosedurnya, tetapi sebuah tujuan yang mulia. “Kan tidak semata-mata memperoleh kandidat yang kemudian jadi. Pemilu juga seharusnya dilihat sebagai upaya membangun konsensus. Seseorang yang telah terpilih telah melalu proses yang benar,” ujarnya..
Karena itu, antara penyelenggara pemilu, pengawas Pemilu, publik, media, satu sama lain merasa memiliki pemilu. Karena Pemilu merasa dimiliki, maka mereka sama-sama untuk menyelamatkan pemilu agar tetap berkualitas.
Sehingga jualan soal, stikmanisasi komunis, teroris, fundamentalis, China yang selalu bermunculan, namun tidak gampang dibeli masyarakat. Karena makin cerdasnya masyarakat, ada kemungkinan tidak akan membeli itu.
“Cuman itu membutuhkan literasi, tidak hanya dilakukan mendekati pemilu saja,” tegas Dr Arie. (Jon)

Kredit

Bagikan