SENJA mulai merayap, ketika kami meninggalkan Yogyakarta. Sekitar pukul 4 sore, sebenarnya belum begitu gelap. Tetapi langit mulai hitam, mendung menggelantung ketika sampai di Magelang.
Naik Kijang Inova, kami berempat, saya adalah cowok sendiri yang nyetir. 3 perempuan masing-masing-masing Mega, Dita dan Bunda Rini.
Perjalanan sebenarnya sudah sejak sehari kemarin, namun sejenak ingin menikmati Yogya yang indah, kami bermalam di sebuah home stay Yogyakarta di Kawasan Kota Yogya. Dan biasa, kalau belum ke Malioboro, makan gudeg kering di Wijilan yang mak nyuss, rasa-rasanya belum afdol ke Yogya. Meski harus pakai masker, cuci tangan berkali- kali namun Yogya memang membuat kenangan sendiri.
Apalagi sempat mampir ke saudara di Kembangarum Turi, Sleman makan mi goreng Kang Hart yang hangat di tengah dinginnya desa lereng Merapi. Desa ini terkenal salak pondoh yang legit dan khas rasanya. Dan jangan lupa bawa salah Pondoh buah khas Sleman. Kami membawa 20 Kg yang saat ini harganya murah, karena sudah dipesan kawan-kawan kantor agar membawa salak yang kondang tersebut.
Udara dingin didesa ke tempat saudara untuk mengantarkan undangan rencana pernikahan. Kecepatan 60 Km perjam melewati Muntilan. Kota kecil ini menarik karena kuliner tape ketan yang legit serta buntil yang enuaak.
Lewat Grabak, kami belok rencana sambil menikmati Kawasan Ketep Pass kemudian masuk ke Boyolali baru kemudian ke Salatiga. Melihat google map saya perkirakan paling lama sejam. Jalanan menanjak, tiba- tiba hujan deras. Sementara jalanan yang berbelok, halus tetapi licin karena air deras, kami harus hati-hati karena hujan mengguyur makin deras.
Di Google Map, kira-kira sejam sampai. Tetapi ternyata sudah hampir 2 jam tetap saja tidak sampai. Rasanya jalanan tak berujung, bahkan anehnya saya beberapa kali melewati jembatan yang gelap, sementara airnya terdengar deras.
“Ada yang tak beres nih” kata Mega yang duduk di samping saya mengemudi. Karena meski memakai peta buatan Google tetapi aneh karena jembatan itu sudah beberapa kali dilewati. Bahkan di tengah hujan yang sungguh lebat kami melihat pemandangan aneh. Saat melawati desa yang gelap, di lapangan ada yang bermain voli dalam cahaya yang remang. Takada sorak sorai seperti layaknya nonton pertandingan voli, yang biasanya seru.
Satu mobil kami terdiam semuanya. Gelap, remang-remang, hujan lebat ada yang bermain voli. Tak ada yang bicara di dalam mobil. Kami s0emua tercekam. Baru beberapa saat setelah melewati ternyata beda yang kami tonton.
Mega, mengatakan aneh pemain voli tak ada mukanya. Dan Gita adik saya yang duduk dibelakangm malah mengatakan pemain voli kok gak punya kaki..Wooww! Ya Allah, sepanjang jalan berdoa menyebut nama Mu.
Mobil kami pacu, tetapi tak berani kencang karena derasnya hujan . Herannya, lokasi yang biasanya hanya ada warung kecil, tetapi malam itu semuanya menjadi rumah makan besar-besar. Tetapi sepi, sama sekali tak terlihat pembelinya.
Semula, Bunda Rini menawarkan apa perlu mampir sebentar di restoran beristirahat sambil menunggu hujan deras. Tetapi ide tersebut sepakat batal, karena Mega melihat di sebuah rumah besar yang cahanya reman-remang di antara rumah makan ada pria tua yang berdiri sambil melambaikan tangannya. Ia seperti menyuruh mampir, tetapi bulu kudukku meremang ketika dik Gita berteriak jangan berhenti..terus saja…
“Ada apa? “ tanya saya sambil terus menginjak gas. Tenyata dalam pandangan Gita, orang tua yang melambaikan tangan tadi tak punya kaki. Bulu kuduk saya berdiri, sambil terus berdoa, mobil tetap saya Pacu. Saya tak habis pikir, jalan yang kami lewati seperti masuk labirin yang tak kunjung keluar. Padahal, bukan baru sekali ini saya melewatu Selo, Sudah sering, biasanya memang siang hari dan semuanya lancar. (loc)