SEMARANG KRJogja.Com - Puluhan wartawan Jogja, Solo dan Semarang yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Senin (30/4/2018) menggelar aksi keprihatinan dan membulatkan tekad mempertahankan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional, menyusul adanya wacana yang digulirkan untuk mengubah tanggal peringatan.
Sedikitnya sekitar 150 wartawan, Minggu pagi mengawali sarasehan menyoal wacana tersebut di Gedung Monumen Pers Solo, dihadiri sesepuh Pers Solo Drs H Ikhwan Dardiri, Ketua PWI Surakarta Anas Syahirul Alim, Ketua PWI Jateng Amir Machmud dan Ketua PWI DI Yogyakarta Sihono HT. Hadir pula PLT Ketua Umum PWI Pusat Sasongko Tedjo dan mantan Ketua PWI Jateng Bambang Sadono.
Dalam sarasehan, Ikhwan Dardiri mengungkap sejarah perjuangan pers hingga pendirian organisasi kewartawanan PWI di Solo, 9 Februari 1946. "Maka sejak 9 Februari 1946 itulah berdirilah satu-satunya organisasi pers Indonesia yang mengakomodir dan memayungi wartawan seluruh Indonesia.Â
Hingga dalam perjalanannya gedung ini dijadikan Monumen dan Museum Pers Nasional. Solo ini dulu banyak penerbitan pers, namun juga dikenal sebagai kuburannya pers. Tidak sedikit yang muncul kemudian mati dan dibreidel. Bahkan tidak sedikit yang harus berurusan dengan penjara. Pers dulu hidup susah, dikeploki saja sudah senang meski tidak dibantu. Sehingga wartawan dikenal susah untuk bisa menjadi kaya. Seperti saya sekarang bisa naik mobil Mercy bukan karena beli sendiri, melainkan dibelikan mobil oleh anak", ungkap Ikhwan Dardiri.
Dalam sarasehan yang dipimpin Ketua PWI Solo, para peserta sarasehan pun meminta dan mengingatkan berbagai pihak agar tidak mengubah sejarah Pers Nasional. "HPN tanggal 9 Februari itu harga mati, jangan ada yang berani mengubahnya. Mereka yang mau mengubahnya jelas tidak mengerti sejarah. Enak saja, tidak pernah merasakan getirnya perjuangan main robah saja. Kita harus menghormati para pejuang dan pendahulu pers. Mengubah HPN berarti juga mengecilkan makna sejarah bagi Kota Solo, dan ini akan melukai ribuan, bahkan jutaan wartawan se-Indonesia", ungkap Anggoro Suprapto, wartawan senior dari Semarang yang datang bersama wartawan dari Rembang, Pekalongan, Batang, Kedu dan Kudus.
Ketua PWI Jawa Tengah Amir Machmud sepakat akan mempertahankan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. "Sampai kapanpun akan kita pertahankan karena itu bukan saja berarti bagi PWI sebagai momentum berdirinya PWI, namun juga berkumpulnya insan pers mendukung berdirinya NKRI dengan Pers Pancasila tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan", ungkap Amir Mahmud.
Hal senada juga ditegaskan oleh Ketua PWI DI Yogyakarta Sihono. Dirinya bahkan mensinyalir ada upaya pengerdilan PWI oleh pihak-pihak yang telah lama menginginkan adanya kekuatan pers yang bisa mengimbangi organisasi pers tertua dan terbesar di Indonesia, yakni PWI. "Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, bahkan memutar film-film 'Tanah Air Beta' dan lainnya yang kontroversial, kami diamkan saja. Mereka selalu akan membawa pengaruh pers kita seperti pers asing, selama ini kami biarkan, tapi pada saatnya kini mengusik sejarah pers nasional, maka kami tidak akan diam. Kami akan melakukan pemboikotan kegiatan Dewan Pers yang banyak dipengaruhi oleh oknum-oknum tersebut bila sudah mulai berani mengubah momentum HPN", tegas Sihono.
Sekretaris PWI Jawa Tengah Isdiyanto mengakhiri sarasehan dengan menggelar orasi keprihatinan di depan Gedung Monumen Pers. Aksi menuntut HPN 9 Februari Harga Mati. Selain itu menuntut statuta keterwakilan Dewan Pers secara proporsional, dimana sekarang keterwakilan dari anggota PWI dinilai tidak proporsional mengingat PWI adalah organisasi besar dan memiliki anggota hampir 90% wartawan di tanah air.