Krjogja.com - YOGYA - Terkuaknya pelecehan seksual pada belasan remaja usia 13-18 tahun di sebuah apartemen kawasan Sleman yang dilakukan seorang duda BM (54) seorang pengusaha material warga Bantul memunculkan fakta menarik sekaligus memprihatinkan yang terjadi di Yogyakarta. Anak-anak usia belasan terjebak dalam pergaulan yang membawa mereka pada situasi tersebut, bahkan dikuatkan dengan imbalan yang disebutkan polisi berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 800 ribu.
Wadireskrimum Polda DIY, AKBP Tri Panungko menyebut, peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan BM terkuak setelah guru salah satu siswi melakukan pengecekan handphone pada siswa-siswi yang diketahui sering bolos sekolah pada 25 Januari lalu. Dari situ didapatkan adanya siswi yang membahas foto-foto telanjang dan akhirnya ditelusuri kepolisian hingga terungkap.
Reny Yuniasanti, dosen Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY) menyebutkan peristiwa tersebut menurut pasal 292 KUHP dipandang sebagai pelecehan seksual bahkan perkosaan karena salah satu pihak adalah anak dengan usia 13-17 tahun/ masih di bawah umur. Di pihak lain, menurut dia, laki-laki sudah dikategorikan sebagai usia dewasa.
"Perlu dipahami dan ditelusur obyektivitas pernyataan suka sama suka antara kedua belah pihak dikarenakan anak ataupun remaja di bawah umur sesuai undang-undang masih memerlukan pendampingan dalam pemahaman peristiwa yang terjadi. Pelecehan seksual pasti akan mengganggu perkembangan dan pertumbuhan anak dan remaja, baik itu jangka panjang atau pendek," ungkapnya ketika dikonfirmasi KRjogja.com, Selasa (30/5/2023).
Reny menyebut, berbagai dampak bisa dialami anak-anak di bawah umur yang menjadi korban, dalam jangka pendek antara lain penurunan performa belajar, depresi, paranoid atau bahkan trauma paska kejadian. Dampak jangka panjangnya bisa terjadi beberapa kemungkinan, yang pertama korban yang merupakan anak atau remaja tersebut akan merasa bahwa itu sebuah hal yang sudah terjadi dan menjadikan sebagai standar yang normal dalam interaksi dengan orang lain.
[crosslink_1]
"Jangan sampai sebuah hal yang terjadi, menjadikan sebagai standar normal dalam interaksi dengan orang lain. Akhirnya nantinya bisa mengalami penyimpangan perilaku seperti homoseksual, masokisme ataupun yang lainnya. Bahkan bisa jadi menyebabkan anak dan remaja tersebut di waktu mendatang akan melakukan hal yang sama kepada orang lain sebagai suatu proses balas dendam atas apa yang sudah dialaminya," sambung dia.
Anak atau remaja yang menjadi korban menurut Reny tidak hanya perlu pendampingan tetapi juga pemulihan setelah melalui peristiwa pelecehan seksual tersebut. Pendampingan tersebut bisa dalam bentuk bermacam-macam serta harus terarah dan tersistem.
"Langkah awal adalah proses asessment untuk mengukur seberapa jauh dampak psikologis kepada anak dan remaja yang dianggap sebagai korban. Proses asessment tersebut bisa dikategorikan asessment awal ataupun lanjutan. Proses aseement awal untuk menentukan pertolongan pertama apa yang bisa dilakukan agar tidak menjadi trauma berkepanjangan pada korban pelecehan seksual," tandasnya lagi.
Asessment lanjutan juga perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana dan separah apa dampak psikologis bagi anak dan remaja korban. Setelah proses asesment dapat memutuskan jenis-jenis intervensi yang tepat bagi pemulihan anak dan remaja korban pelecehan untuk pengamatan anak dan remaja.
"Tapi terpenting memang perlu adanya pendampingan bagi anak-anak atau remaja dalam kasus ini, untuk mengetahui seperti apa dampak psikologisnya," pungkas dia. (Fxh)