KRjogja.com - TETAP konsisten pada genre sastra terlibat, aktivis demikrasi Isti Nugroho kembali menerbitkan karya antologi puisi esai bertajuk “Negara Dalam Gerimis Puisi”. Buku antologi yang memuat 50 puisi esai ini, pada Senin malam (24/2) dibahas sosiolog Dr Arie Sujito dan penyair Simon Hate serta esais Indra Tranggono di Rumah Maiyah (Cak Nun), Jalan Wates Km 2,5, Gang Barokah Kadipiro Yogyakarta. Sastra terlibat adalah sastra yang peduli dengan persoalan-persoalan sosial, terutama yang terkait dengan isu-isu ketidakadilan dan problem kemanusiaan.
Kegiatan diskusi menarik banyak sekali peserta dan penonton dari berbagai kalangan karena disertai penampilan aktor senior Yogyakarta, Joko Kamto dan Eko Winardi yang mementaskan puisi esai “Doktrin Sinatra” secara teaterikal. Pantomimer Ende Riza melengkapinya dengan monolog-pantomim “Penumpang Gelap Reformasi”. Pementasan yang musiknya digarap Bobiet Santosa ini nampak berlangsung hangat, meriah dan cukup serius, hasil kolaborasi dari Yayasan Budaya Guntur 49 Jakarta, Rumah Maiyah dan didukung Sanggar Anak Alam Yogyakarta.
Baca Juga: JPW Minta Polisi Tak Bungkam Karya Seniman
Pembahasan yang dipandu oleh Toto Rahardjo dibuka dengan analisis Arie Sujito pada teks puisi berdasar konteks peristiwa. Hal ini menarik karena antologi puisi karya Isti memang memuat tema sekitar sosial, politik, hukum, cinta sampai ideologi. Ia kemudian memberikan pandangan-pandangan sosiologis dan politik sesuai kompetensinya. Dari analisis Ari, peserta dan penonton menjadi lebih faham tentang makna puisi-puisi Isti. Isti ingin mengajak publik agar faham hak-haknya dan bersama-sama dengan kekuatan sipil lainnya dapat mengawal kekuasaan agar fokus pada perwujudan keadilan dan kesejahteraan publik.
Sementara Simon Hate yang dikenal sebagai penyair yang mendalami filsafat membahas puisi-puisi Isti dari sudut pandang bentuk dan isi yang terkait tema, idiom dan makna. Pengalaman estetik dan sosial Simon Hate sebagai penyair mampu membuat terang makna dari setiap karya Isti. Ia melihat substansi utama karya Isti adalah kontrol sosial yang tajam untuk mengingatkan penguasa agar kembali kepada jati diri kekuasaan yang mengabdi kepada kepentingan publik seluas-luasnya.
Baca Juga: Mendikdasmen Abdul Mu'ti: Pendidikan Dimulai dengan Membaca
Adapun Indra Tranggono yang merupakan kurator dan editor buku antologi puisi “Negara Dalam Gerimis Puisi” memaparkan pengalamannya menjadi pengawal karya-karya Isti. Ia mengupas apa yang paling khas dari puisi-puisi Isti, yang kemudian ia petakan ke dalam tiga fase proses kreatifnya, yaitu pencarian, benturan menghadapi realitas dan dinamika gelombang pemikiran. Penonton dan peserta menjadi faham untuk mencapai karya seperti Isti diperlukan intlektualitas tinggi dan jiwa kejuangan pantang menyerah. “Di Indonesia, pengalaman politik pejuang demokrasi dalam menghadapi tirani, belum banyak ditulis. Terutama dari pejuang demokrasi yang muncul pada era 1980-an. Isti mengisi ruang yang masih kosong itu,” ujar Indra Tranggono.
Isti Nugroho yang oleh sebagian orang dinobatkan sebagai komandan sastra terlibat di Yogyakarta dan tercatat pernah dihukum delapan tahun di masa Orde Baru (1988) karena tuduhan subversif nampak hadir ditengah acara. Ia nampak gembira dan bangga dengan antusiasme peserta dan penonton dan menyatakan antologi puisi “Negara Dalam Gerimis Puisi” adalah bagian dari perjalanan hidupnya sebagai aktivis demokrasi. “Saya ingin orang tak hanya memahami puisi esai melalui analisis para pakar tapi juga melalui sajian pertunjukan. Cara ini bisa jadi alternatif dalam penafsiran puisi. Selain itu, juga memperkaya penghadiran puisi esai di tengah publik,” ucap ujar Isti Nugroho.
Baca Juga: Akhir Maret Diprediksi Sebagai Puncak Mudik Lebaran 2025
“Format dan karakter puisi esai sangat cocok dengan visi sastra terlibat. Unsur ide menjadi nilai penting, selain pola ungkap yang puitis. Selain itu, puisi esai mengakomodasi persoalan-persoalan sosial, budaya dan politik. Strukturnya lebih longgar dibanding puisi suasana. Dalam proses berkarya, penulis ditantang untuk mencari berbagai referensi sehingga konten puisinya tidak mengada-ada. Di sini penyair harus menyerap banyak pengetahuan layaknya para intelektual bekerja,” demikian tambah Isti yang kini aktif di INDEMO (Indonesian Democracy Monitoring).(*)