Tren Quiet Quitting di Jepang, Fenomena Sosial Anak Muda Semakin Diminati

Photo Author
- Jumat, 30 Mei 2025 | 14:15 WIB
 Quiet Quitting  ( (Unsplash.com))
Quiet Quitting ( (Unsplash.com))


Jakarta Selama bertahun-tahun, Jepang dikenal sebagai negara dengan etos kerja tinggi, di mana loyalitas tanpa batas kepada perusahaan dianggap sebagai suatu kehormatan. Generasi terdahulu rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kehidupan pribadi demi kemajuan karier dan perusahaan. Namun, seiring perubahan zaman dan nilai-nilai hidup, generasi muda Jepang mulai mempertanyakan makna dari pengorbanan tersebut.

Pasca pandemi, banyak anak muda mulai mengevaluasi kembali prioritas hidup mereka. Mereka tak lagi melihat pekerjaan sebagai pusat kehidupan, melainkan hanya sebagai salah satu bagian dari hidup yang seimbang. Mereka hadir ke kantor tepat waktu, pulang sesuai jam kerja, dan tidak terobsesi pada promosi atau pujian dari atasan.

Tren ini dikenal sebagai quiet quitting, konsep bekerja sesuai jobdesk tanpa ambisi berlebih. Jika dahulu hal ini terdengar asing di Jepang, kini semakin banyak generasi muda yang memilih jalan ini sebagai bentuk perlawanan halus terhadap budaya kerja lama yang menuntut totalitas tanpa batas. Berikut ulasan Liputan6.com tentang pergeseran budaya kerja di Jepang yang dilansir dari laman dw.com, Kamis (29/5/2025).

Baca Juga: Enaknya Jadi Ketua Kelompok PNM Mekaar, Dapat Studi Banding Gratis ke UMKM Top!

Awal Mula Trend Quiet Quitting

stilah quiet quitting pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 2022. Fenomena ini menggambarkan pekerja yang memilih untuk tidak lagi terlibat secara emosional dalam pekerjaan mereka. Mereka tidak benar-benar berhenti bekerja, namun menolak melakukan hal-hal di luar tanggung jawab utama. Dalam konteks ini, quiet quitting menjadi bentuk pernyataan diam: cukup bekerja sesuai kontrak, tanpa mengejar bonus, promosi, atau penghargaan tambahan.

Fenomena ini muncul sebagai reaksi terhadap budaya kerja yang menuntut produktivitas tinggi tanpa kompensasi setimpal. Di tengah kesadaran akan pentingnya work-life balance, banyak anak muda di Amerika merasa bahwa pekerjaan seharusnya tidak mengorbankan kebahagiaan dan waktu pribadi mereka.

Quiet Quitting di Jepang, Pergeseran Budaya Kerja

enomena ini kini merambah Jepang, negara yang selama puluhan tahun lekat dengan citra salaryman, loyalitas tanpa syarat, dan kerja lembur tanpa bayaran. Menurut survei Mynavi Career Research Lab terhadap 3.000 pekerja usia 20–59 tahun, sebanyak 45% mengaku hanya melakukan pekerjaan sesuai kebutuhan minimum. Generasi usia 20-an menjadi kelompok paling dominan dalam tren ini.

Baca Juga: PT Bank Jasa Jakarta Resmi Menjadi PT Bank Saqu Indonesia

Bagi banyak anak muda Jepang, loyalitas mutlak terhadap perusahaan tidak lagi relevan. Mereka melihat bagaimana orang tua mereka mengorbankan waktu dan kesehatan demi perusahaan yang tak selalu memberikan jaminan masa depan. Kini, banyak yang lebih memilih mengejar waktu untuk diri sendiri, berkumpul dengan teman, melakukan hobi, atau bepergian. Mereka tidak tertarik pada promosi jika itu berarti jam kerja lebih panjang. (*)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Tomi Sujatmiko

Tags

Rekomendasi

Terkini

Jadwal Puasa Rajab 2025-2026 dan Bacaan Niatnya

Sabtu, 20 Desember 2025 | 18:40 WIB

Mengumpat Bisa Bikin Tubuh Makin Pede?

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:40 WIB
X