KRJOGJA.com Yogya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah secara resmi mengajukan usulan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar Gunung Slamet ditetapkan sebagai Taman Nasional. Pengumuman ini disampaikan oleh Gubernur Jawa Tengah, Pol (P) Drs. Ahmad Luthfi, S.H., S.St.M.K., pada Minggu (29/6).
Usulan ini bukan tanpa alasan. Sebelumnya, dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Wilayah (Musrenbangwil) Eks Karesidenan Pekalongan, Gubernur Luthfi menyatakan bahwa langkah ini sejalan dengan upaya konservasi lingkungan. "Beberapa gunung lain seperti Lawu dan Merbabu sudah berstatus taman nasional, kini saatnya Slamet menyusul," ujarnya, seperti dilansir dari laman humaspemprov.jateng.go.id.
Penetapan Gunung Slamet sebagai taman nasional juga dinilai selaras dengan arah pembangunan Jawa Tengah tahun 2026 yang berfokus menjadikan provinsi ini sebagai lumbung pangan nasional. Dalam konteks ini, ketahanan air menjadi kunci utama. Diharapkan, status taman nasional akan memperkuat upaya pembenahan infrastruktur pertanian dengan menjaga kawasan tangkapan air demi keberlanjutan produksi pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sekitar.
Baca Juga: D’Las Trail Run 2025, Lari Lintas Alam di Lereng Gunung Slamet
Namun, kebijakan ini justru memicu berbagai respon negatif dari masyarakat, khususnya para pendaki. Dalam kolom Instagram Mountnesia, tidak sedikit masyarakat yang kecewa dan berharap agar kebijakan tersebut tidak terlaksana sebelum mereka sempat mengunjungi Gunung Slamet. Alasan kekhawatiran mereka seragam: pendakian menjadi lebih mahal dan ribet.
Status taman nasional memang membawa konsekuensi perubahan kepemilikan dan keterikatan pada peraturan negara. Umumnya, tarif pendakian akan mengacu pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2024. Artinya, biaya masuk akan lebih tinggi, ditambah potensi biaya tambahan untuk jenis kegiatan seperti hiking dan berkemah, penggunaan alat seperti drone, serta biaya asuransi.
Selain itu, regulasi kegiatan pendakian di Gunung Slamet berpotensi akan semakin ketat. Ini mencakup pembatasan akses dan jalur pendakian, larangan membawa sampah, membuat api unggun hingga persyaratan dokumen yang lebih banyak, seperti Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI), surat keterangan sehat dan lain sebagainya.
Baca Juga: Bidik Generasi Muda, Axioo Hadir di JKT48 All In Tour 2025
Secara keseluruhan, usulan Gubernur Jawa Tengah ini dapat dipandang sebagai upaya melindungi ekosistem Gunung Slamet dan gunung-gunung lainnya, serta meningkatkan ketahanan pangan.
Sebagaimana dilansir dari akun Instagram Mountnesia, komunitas pecinta alam seperti Suwong dari Kabupaten Batang, bahkan mendukung penuh usulan ini dan mengusulkan agar konsep kawasan hutan alam "Sisik Naga"—yang menghubungkan Gunung Prau hingga Gunung Slamet—dihidupkan kembali.
Namun, tidak sedikit masyarakat yang pesimis dengan pemenuhan tujuan konservasi tersebut. Mereka percaya bahwa aspek pariwisata dan komersialisasi Gunung Slamet merupakan motif utama di balik kebijakan ini, alih-alih murni upaya pelestarian lingkungan.