Krjogja.com — Fenomena penuaan dini (accelerated aging) kini semakin banyak terjadi. Faktor lingkungan dan gaya hidup seperti merokok dan kurang tidur berpengaruh terhadap percepatan penuaan secara biologi.
Namun, siapa sangka, seseorang yang jago banyak bahasa ternyata justru bisa terhindar dari penuaan dini. Riset Lucia Amoruso, Herman Hernandez, dan Agustin Ibanez (2025) menunjukkan bila seorang multilingual dapat terlindung dari penuaan dini.
Baca Juga: Street Art dekat FKH UGM dan Teknologi Organ Chip Cegah Eksploitasi Hewan
Hal itu berkaitan erat dengan proses kerja otak. Para peneliti yang melakukan riset di 27 negara di Eropa itu menemukan bila seseorang yang jago banyak bahasa punya daya otak yang lebih kuat. Bahasa melatih otak untuk senantiasa stabil, fokus, serta responsif.
Aktivitas berkomunikasi dengan menggunakan lebih dari satu bahasa dapat menghambat penuaan otak. Manakala otak bisa senantiasa prima, tubuh pun ikut merespon selaras. Fakta ini juga bermakna jika semakin banyak ragam penguasaan bahasa, maka semakin lambat pula penuaan yang berlangsung.
Sementara itu, riset lain bertajuk “Bilingualism Delays Expression of Alzheimer’s Clinical Syndrome” oleh Mario Mendez, Diana Chavez, serta Golnoush Aklagiphour (2020) menghasilkan fakta menarik lainnya.
Menurut penelitian ini, orang dengan kemampuan dwibahasa (bilingual) ternyata mengalami gejala Alzheimer (kepikunan) empat tahun lebih lambat ketimbang seorang penutur tunggal (monolingual).
Fakta ini tentu merupakan kabar gembira untuk masyarakat Indonesia. Pasalnya, dengan jumlah bahasa daerah yang mencapai lebih dari 700, hampir pasti masyarakat Indonesia merupakan penutur bilingual.
Untuk anak-anak Jogja, misalnya, bahasa ibu (mother tongue) mereka kemungkinan besar adalah bahasa Jawa. Sementara, aktivitas bersekolah lantas membuat anak mengenal bahasa Indonesia dan bahasa asing lain. Praktis, mereka tumbuh sebagai bilingual atau multilingual.
Namun, proses belajar berbagai ragam bahasa yang bermanfaat untuk otak dan masa usia seyogianya berlandaskan perasaan senang. Mempelajari bahasa tidak boleh berlangsung dalam paksaan yang berujung pada timbulnya stres.
Anugerah natural bilingual pada banyak masyarakat daerah di Indonesia layak bersambut rasa syukur. Warisan keberagaman bahasa nyatanya tak melulu tuntutan moral preservasi, melainkan juga punya manfaat untuk kehidupan. (*)