KRJogja.com—Apa yang pembaca pikirkan ketika mendengar frasa “menebar benih”? Di kalangan masyarakat agraris seperti Indonesia, frasa ini mungkin punya kaitan erat dengan aktivitas bertani.
Namun, lain halnya dengan pribadi Faqihuddin Abdul Kodir. Lulusan Universitas Damaskus yang akrab disapa Kang Faqih ini punya kisah yang berbeda.
Tahun 2000, selepas menuntaskan studi magister di International Islamic University Malaysia (IIUM), ia bersama istrinya, Mimin Mu'minah, memutuskan kembali ke kampung halaman di Cirebon.
Baca Juga: Layanan neuCentrIX Hadir di Jayapura, Mantapkan Hub Digital Kawasan Timur Indonesia
Keputusan itu merupakan pilihan yang tak gampang. Pasalnya, di perantauan Negeri Jiran sana, Kang Faqih bisa dibilang mapan. Ia punya kans melanjutkan studi doktoral. Plus, di masa itu, ia telah punya pekerjaan sambilan.
“Arahku mantap: pulang dan memilih Cirebon,” ujarnya via tulisan bertajuk “Keputusan Pulang ke Cirebon: Refleksi 25 Tahun Kerja-kerja Kebudayaan Fahmina”.
Setibanya di Cirebon, berbekal tekad dan dorongan sang Kyai, Buya Husein Muhammad, Kang Faqih merintis Lembaga Fahmina—mulanya bernama Fahmindo.
Baca Juga: Perkuat Infrastruktur Konektivitas Papua, TelkomGroup Resmikan Community Gateway Merauke
Berbekal sokongan dari pelbagai pihak, termasuk mahasiswa awal STAIN Cirebon, Kang Faqih mulai melakukan kerja-kerja kebudayaan.
Mereka bersengkuyung menghelat kerja sosial, kajian-kajian, hingga menerbitkan buletin mingguan bernama Warkah al Basyar.
Perlahan, kerja-kerja mungil itu berkembang menjadi halaqah keliling hingga melahirkan Women Crisis Center (WCC) di Pesantren Arjawinangun.
Baca Juga: Mavericks Bangkit, Tundukkan Rockets 122–109 di Dallas
“Seiring waktu, Fahmina semakin meluas, hingga pada 2007 lahir perguruan tinggi IsIam: Institut Studi Islam Fahmina,” kenang Kang Faqih.
Niat “menanam benih” dari Kang Faqih menumbuhkan tanaman dengan buah yang lebat. Fahmina terus berkembang menembus batas geografi. Tak hanya di Indonesia, Fahmina bahkan mendunia.