Krjogja.com - YOGYAKARTA – Di balik nama besar PSIM Yogyakarta era 80 hingga 90-an, berdiri kokoh seorang penjaga gawang yang tak hanya dikenal karena ketangguhannya, tapi juga karena kesetiaannya yang tak tergoyahkan.
Dialah Siswadi Gancis, legenda hidup Laskar Mataram yang kisah hidupnya kembali dikenang lewat perbincangan hangat Podcast Kedaulatan Rakyat (KR) TV bersama host Njaban Garis, Primaswolo Sudjono (Pak Djon) dan FX Harminanto.
Di episode spesial tersebut, dibagi dua episode. Untuk episode 1, diawali dengan Gancis membuka banyak kenangan—dari cerita masa kecil yang penuh keteladanan, perjuangannya merantau ke Yogyakarta demi mimpi, hingga bagaimana ia menjadi salah satu ikon sepak bola Jogja.
Tumbuh dari Darah Sepak Bola
“Saya terinspirasi dari bapak saya,” buka Gancis. Ayahnya adalah pemain Persijab Jepara era 60–70-an. Dari sanalah benih kecintaannya terhadap sepak bola tumbuh. Sejak kecil, Gancis sudah akrab dengan lapangan bola. Bahkan, ia tak segan membolos sekolah hanya demi mengikuti ayahnya bertanding.
Baca Juga: Cerita Suporter PSIM Kawal Bus Persis Solo Usai Laga Ujicoba Tertutup di SSA
Setelah lulus SMP, Siswadi Gancis memberanikan diri merantau ke Yogyakarta, dengan tekad menjadi pesepakbola. Ia menempuh pendidikan olahraga di SGO (Sekolah Guru Olahraga) dan mulai menempa diri di klub lokal Hizbul Wathan, salah satu klub bersejarah di Jogja.
Kariernya sebagai penjaga gawang dimulai dari bawah—secara harfiah. Ia mengingat betul lapangan tempatnya berlatih: Lapangan Asri, yang lebih mirip hamparan debu daripada rumput hijau. Namun di sanalah mental dan tekniknya ditempa.
"Pelatih saya saat itu Pak Nurdin Basar. Latihannya berat sekali. Belum ada kurikulum kiper seperti sekarang. Saya hanya berpegang pada satu buku tua berisi gambar-gambar tangan, bukan foto," kenangnya sambil tersenyum.
Menjadi Pilar PSIM
Masuk ke tim senior PSIM pada tahun 1981, Gancis menjadi saksi transformasi klub di era transisi. Banyak pemain senior saat itu direkrut klub semi-profesional Sari Bumi Raya. PSIM pun bertahan dengan pemain muda dan semangat lokal.
Gancis bukan hanya kiper, ia adalah simbol ketangguhan di bawah mistar. Dikenal dengan refleks cepat dan nyali tinggi, ia menjaga gawang PSIM hingga 1995—rekor pengabdian yang jarang tertandingi.
Surat dari Penggemar
Pada masanya, Siswadi Gancis bukan hanya dikagumi karena kemampuan, tapi juga karena persona dan loyalitasnya. Bahkan, ia disebut-sebut sebagai pemain yang paling banyak menerima surat dari fans.
“Dulu belum ada HP, jadi para penggemar kirim surat. Ada yang sampai mengumpulkan semua kliping berita tentang saya, dijilid, lalu dikirimkan,” ceritanya.
Satu kliping itu ia simpan hingga kini, sebagai kenangan akan masa-masa di mana sepak bola tak sekadar pertandingan, tapi perasaan.
Trauma Petir dan Kisah Kematian di Lapangan
Salah satu cerita paling menyentuh adalah trauma yang ia alami akibat kejadian tragis saat kecil. Ketika menonton ayahnya bertanding di Salatiga, lapangan tempat pertandingan tersambar petir. Seorang striker tim ayahnya, bernama Junaid, meninggal dunia seketika. Gancis menyaksikannya langsung dari dalam bis.