BEDA dengan lembaga pendidikan umumnya, pembelajaran pesantren menggunakan kalender Hijriah atau Qomariyah, mulai Syawwal sampai akhir Sya’ban. Penerimaan santri baru dan pembelajaran dimulai Syawwal. Sedang penutup kegiatan belajar dan melepas santri yang selesai belajar di pesantren dengan kegiatan akhir sanah dirangkai kegiatan khataman, dilakukan menjelang Ramadan.
Pada bulan Syawwal para orangtua datang mengantar anak-anaknya ke pesantren untuk menitipkan putra-putrinya kepada pengasuh pesantren secara langsung, sehingga orangtua santri bukan hanya mengetahui pesantren, tapi juga mengenal lebih dekat pengasuh anak-anaknya. Tradisi ini tidak dimiliki bahkan oleh madrasah apalagi sekolah, kecuali kalau keduanya menjadi bagian dari pesantren.
Tradisi mengantar anak ke pesantren ini sebagai bentuk komitmen -meminjam bahasa Cak Nur dalam Masyarakat Religius - pentingnya dorongan moral orangtua bagi pendidikan anak-anak mereka dalam suasana kerumahtanggaan. Dengan cara mengantar ini, wajar kalau kemudian terbangun hubungan emosional positif kuat antara orangtua santri dan pengasuh. Pertalian ini kemudian melahirkan perilaku positif dalam bentuk komitmen yang berwujud antara lain komitmen finansial, sehingga, misalnya, tidak ada ceritanya santri berdemo atas uang bulanan (syahriyah) yang ditetapkan pesantren.
Di sisi lain, bila orangtua santri, karena keadaan tidak mampu membayar syahriyah anaknya, tidak sedikit pengasuh pesantren yang tetap memberi kesempatan belajar kepada santri, meski dengan tidak membayar. Dalam konteks ini dapat dikemukakan, pesantren adalah lembaga pendidikan yang inklusif, terbuka bagi seluruh anak bangsa, baik ia berkemampuan ekonomi maupun tidak. Para pengasuh telah menjalankan fungsinya sebagai pelaku education for all dengan tanpa perlu mereka mengklaim.
Sementara itu, akhir Sya’ban dan memasuki Ramadan adalah bulan yang dinanti-nanti santri. Pada akhir Sya’ban santri berpesta akhir sanah dan wahana pembuktian ke orangtuanya, karena sebagiannya akan mengikuti khataman, biasanya untuk santri pemula, khatam juz 30 Alquran. Pada momen ini, orangtuanya datang kembali ke pesantren, antara lain untuk menjemput kembali anaknya dan tentu juga bertemu pengasuh.
Meski sudah mengadakan akhir sanah, tidak ada kata akhir bagi pengasuh. Hal ini karena bukan sekadar tidak semua santri pulang kampung, namun pengasuh akan membuka pengajian pasaran sepanjang Ramadan, bukan sekadar untuk santrinya sendiri yang tidak pulang kampung, tapi juga bagi para santri yang datang dari berbagai pesantren yang ingin menambah ilmu dan ngalap berkah.
Pengajian pasaran adalah semacam short courses yang sudah lama menjadi tradisi pesantren setiap Ramadan. Ramadan bukan hanya dinanti santri yang ingin pulang kampung tapi juga dinanti oleh santri yang merdeka belajar. Sepanjang Ramadan, santri ulya akan memilih dan menetapkan ngaji kitab apa; Tafsir, Hadis, Fiqih, Tasawuf, atau sekadar ngalap berkah, tafa’ulan, refreshing untuk mencari suasana dan pengalaman baru untuk bekal kelak dalam hidupnya dan kepada siapa.
Menariknya, ngaji pasaran tidak dipungut biaya. Santri hanya berbekal seperangkat kitab dan alat tulis yang diperlukan dan biaya hidup selama Ramadan. Pesantren-pesantren besar dengan Kiai yang bereputasi biasanya menjadi jujugan dan destinasi santri, seperti Lirboyo, Tebuireng, Ploso, Sarang. Tradisi ini terjaga di pesantren hingga kini. Dengan berjalannya tradisi ini, bukan saja terjalin dan terbangun jejaring keilmuan, namun juga pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang kuat merawat pentingnya sanad keilmuan. Wallahu a’lam bissowab.(Dr H Waryono Abdul Ghafur, Wakil Rois Syuriah PWNU DIY, 2022-2027 dan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI)