hikmah-ramadhan

Mempertajam Sanksi Otonomi Diri

Senin, 25 April 2022 | 07:19 WIB
Dr. Ahmad Zuhdi Muhdlor, SH, M.Hum.

PUASA Ramadan 1443 tinggal beberapa hari. Semoga kita yang berpuasa dengan imanan dan ihtisaban benar-benar mencapai derajat muttaqin (orang-orang yang bertakwa). Betapa tidak, selama puasa kita dibiasakan menahan diri dari banyak hal, baik perbuatan yang hukum asalnya mubah (seperti makan dan minum), maupun yang hukum asalnya memang tak boleh, seperti marah-marah, berburuk sangka, memfitnah, menyebar berita bohong (hoaks), menggunjing dan berbagai perilaku buruk lain, karena semua itu dapat merusak pahala puasa.

Berpuasa (ash-shiyam) berarti al-imsak atau “menahan diri” dari menuruti keinginan hawa nafsu, sekadar “menahan” bukan untuk “membunuh” hawa nafsu, karena hawa nafsu itu kelengkapan yang diberikan Allah Swt untuk manusia sebagai alat menguji ketakwaan. Ketika manusia hanya menuruti hawa nafsu, dia akan jauh dari derajat taqwa, dan ini bertentangan dengan tujuan disyariatkannya puasa (Ramadan).

Urgensi lain dari nilai ketaqwaan adalah agar manusia benar-benar “menjadi manusia”, bukan sekadar wujudnya manusia. Dengan hanya menurutkan hawa nafsu sebetulnya manusia tidak utuh menjadi manusia. Orang bertakwa adalah orang yang utuh atau bulat antara niat, ucapan / ujaran, dan perilaku dalam kebaikan dan ketulusan. Tidak ada sedikitpun niat melakukan kesalahan atau kejahatan meski ada kesempatan. Dia mampu mengendalikan diri, mampu membangun pengawasan melekat (inheren) dalam dirinya, hingga memunculkan kepekaan dan empati atas problem orang lain. Dia akan merasa bersalah bahkan merasa berdosa ketika tidak dapat melakukan perbuatan baik dan bermanfaat, dalam konteks hubungan dengan Allah Swt (hablun minallah) maupun hubungan sesama manusia (hablun minan nas).

Manusia yang telah berhasil membangun pengawasan inheren akan takut melakukan perbuatan tidak terpuji, apalagi pelanggaran dan kejahatan. Ketakutan ini tidak tiba-tiba, tetapi terbangun melalui kesadaran moral, etik dan riyadlah yang dilakukan secara istiqamah dan penuh keimanan, seperti puasa Ramadan dengan berbagai jenis ibadah lainnya (shalat lail, banyak dzikir, tadarus, shadaqah, dan sebagainya). Jadi bukan sekadar takut karena akan mendapat hukuman / sanksi yang datang dari luar dirinya, seperti dari masyarakat, atasan, aparat penegak hukum, dan sebagainya.

Orang yang telah berhasil membangun kesadaran inheren, akan merasa sangat menyesal misalnya tidak dapat melaksanakan kebaikan. Dalam konteks ibadah, misal, akan merasa sangat bersalah dan malu jika tidak bisa salat tahajud, tidak sempat membaca Alquran (tadarus), atau tidak bisa bersedekah. Kemudian orang itu “menghukum” dirinya sendiri dengan banyak ber-istighfar atau melakukan perbuatan baik lain yang dianggap dapat menebus kealpaan atau kesalahannya. Inilah yang dalam ilmu hukum disebut Sanksi Otonom, yakni sanksi yang dijatuhkan diri sendiri atas kealpaan atau pelanggaran etik atau moral.

Jika kesadaran Sanksi Otonom ini tumbuh secara masif, maka berbagai pelanggaran dan kejahatan dapat diminimalisir. Sebetulnya TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa telah memberi landasan bagi pentingnya kesadaran menumbuhkan Sanksi Otonom, terutama di kalangan penyelenggara Negara. Orang tidak harus dinyatakan salah setelah ada putusan hukum, tetapi pelanggaran sekecil apapun, baik secara moral maupun etik, harus diakui sebagai kesalahan yang harus disesali, karena hukum (di zaman modern) adalah agama, moral atau etik yang dijadikan norma. Tanpa secara formal melanggar hukum, sebetulnya seseorang sudah terikat dengan agama, moral, dan etika.

Karena itu, keteladanan para pemimpin sangat dibutuhkan untuk menuntun masyarakat menuju perilaku akhlaq al-karimah. Saat budaya kekerasan, seperti maraknya klitih, gank motor, budaya permisif dan budaya tidak terpuji lainnya terus berkembang dan sulit dibrantas melalui sanksi-sanksi heteronom, maka upaya menumbuhkan kesadaran Sanksi Otonom menjadi sebuah keniscayaan. Ramadan merupakan momentum sangat tepat untuk menciptakan kesadaran di atas guna meraih derajad Muttaqin. Allahu A’lam. (Dr Ahmad Zuhdi Muhdlor SH MHum, Ketua PWNU DIY dan Wak. Ketua Umum MUI DIY)

Tags

Terkini

Awal Bulan Syawal Kenapa Kita Bertakbir?

Minggu, 30 Maret 2025 | 22:50 WIB

11 Negara Ini Rayakan Idul Fitri 2025 Hari Ini

Minggu, 30 Maret 2025 | 22:10 WIB

Sinergi 3 Masjid Kuatkan Umat

Selasa, 18 Maret 2025 | 22:55 WIB

Ini 5 Kategori Waktu Pembayaran Zakat Fitrah

Jumat, 7 Maret 2025 | 19:50 WIB

Nih Negara dengan Durasi Puasa Ramadan Terlama

Minggu, 2 Maret 2025 | 13:59 WIB

Awal Ramadan 2025 di 8 Negara Ini Mulai 2 Maret

Minggu, 2 Maret 2025 | 13:23 WIB