KRjogja.com - BANYUMAS - Gunung Slamet, menjulang setinggi sekitar 3.428 meter di atas permukaan laut, membentang di lima wilayah administratif yakni Banyumas, Brebes, Tegal, Purbalingga, dan Pemalang Jawa Tengah. Namun, lebih dari sekadar mahakarya geologi, Slamet menyimpan warisan spiritual dan kisah-kisah mitologis yang tertanam kuat dalam kepercayaan masyarakat sekitar.
Gunung Slamet membentang di tengah bentangan megah Pulau Jawa, berdiri dengan angkuhnya sebuah gunung yang bukan hanya menyandang predikat sebagai yang tertinggi di Jawa Tengah, tetapi juga sebagai salah satu gunung berapi paling aktif dan penuh teka-teki di Indonesia.
Bagaikan raksasa yang tertidur namun berjaga, gunung ini diliputi aura mistis yang tak lekang oleh zaman. Di balik ketenangannya yang tampak, Gunung Slamet dipercayai sebagai lokasi keramat yang dihuni makhluk tak kasat mata serta menjadi titik penting dalam ramalan leluhur Jawa.
Baca Juga: Kasus Korupsi Jalan di Sumut, KPK Buka Peluang Periksa Bobby Nasution
Salah satu ramalan paling menggetarkan adalah dari Prabu Jayabaya, raja legendaris dari Kerajaan Kediri, yang menyebut bahwa apabila Gunung Slamet meletus hebat, maka Pulau Jawa akan terbelah menjadi dua.
Masyarakat sekitar hidup berdampingan dengan gunung ini tidak hanya dalam konteks geografis, tetapi juga spiritual. Mereka tidak sekadar memandang Slamet sebagai bagian dari alam, melainkan sebagai entitas hidup yang harus dihormati dan dijaga.
Oleh karena itu, upacara-upacara adat seperti ruwatan atau sesaji rutin dilakukan, terutama oleh para pendaki spiritual maupun tokoh adat setempat, sebagai bentuk penghormatan terhadap penunggu Gunung Slamet. Mereka percaya bahwa kawasan puncak gunung ini dijaga oleh makhluk halus yang tidak menyukai kesewenang-wenangan manusia.
Konon, suara gamelan sering terdengar di malam-malam tertentu dari puncak gunung, dan kabarnya itu merupakan pertanda bahwa dunia gaib sedang bermusyawarah atau mengadakan perayaan. Tidak sedikit pula kisah pendaki yang tersesat meski sudah berbekal peta dan GPS, bahkan ada yang merasa berjalan dalam lingkaran waktu karena mengganggu ketenangan yang ada.
Kepercayaan ini begitu melekat hingga dalam percakapan sehari-hari pun masyarakat akan menggunakan bahasa halus atau isyarat tertentu saat membahas Slamet, terutama ketika mereka sedang berada dalam jangkauan energi mistisnya.(bersambung)