Krjogja.com - Jakarta - Jumlah angkutan umum di Indonesia disebut-sebut sangat minim, bahkan kalah jauh jika dibandingkan dengan kendaraan pribadi utamanya sepeeda motor. Hal ini, dinilai akan jadi tantangan dalam pemanfaatan angkutan umum kedepannya.
Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan jumlah angkutan umum di Indonesia tergolong minim bahkan krisis.
"Telah terjadi krisis angkutan umum sangat nampak dari data yang diberikan Badan Pusat Statistik," ujar dia dalam keterangan resmi, Minggu (11/6/2023).
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi jenis kendaraan di Indonesia tahun 2021 total 141.992.573 unit kendaraan. Terdiri dari 120.042.298 unit sepeda motor (84,5 persen), mobil penumpang 16.413.348 unit mobil penumpang (11,6 persen), 5.299.361 unit mobil barang (3,7 persen) dan sisanya 257.565 unit bus (0,2 persen).
"Sudah pasti jumlah angkutan perkotaan kurang dari 0,2 persen, lantaran masih ada angkutan umum antar kota antar provinsi (AKAP), angkutan umum antar kota dalam provinsi (AKDP) dan angkutan perdesaan yang populasinya sangat minim," urainya.
Dengan porsi tersebut, Djoko melihat malah akan mendorong konsumsi BBM menjadi lebih banyak lagi. Padahal ada target mengurangi konsumsi BBM.
"Di sisi lain, Indonesia mengimpor BBM lebih dari 50 persen kebutuhan nasional. Belum lagi angka kecelakaan lalu lintas yang ditimbulkannya. Untuk menangani krisis angkutan umum perlu komitmen pemerintah dari pusat hingga daerah," tegasnya.
Djoko mencatat, penerapan program angkutan umum buy the service (BTS) tidak semulus yang diharapkan. Ada sejumlah catatan seperti berkurangnya penumpang setelah biaya angkutan bus BTS jadi berbayar.
Meski begitu, ada upaya lainnya dari pemerintah untuk mengembalikan lagi jumlah penumpang bus BTS tadi. Termasuk upaya pemberlakuan tarif khusus bagi sebagian golongan, hingga tarif tunggal dalam satu kali bayar.
Kendari begitu, Djoko menilai, ada sejumlah kendala dalam pelaksanaan BTS. Ini mengacu pada Staf Ahli Bidang Keselamatan dan Konektivitas Perhubungan, Robby Kurniawan.
Pertama, adanya friksi di lapangan dengan operator angkutan umum eksisting yang menginginkan perlakukan dan fasilitas yang sama terutama terkait tarif, sehingga ke depan aturan mengenai tarif perlu dibuat dengan mempertimbangkan ability to pay dan willingness to pay.
"Kedua, skema BTS ke depan juga dibutuhkan kelembagaan yang jelas, Kementerian Perhubungan berencana membentuk Badan Layanan Umum (BLU)," paparnya.
Ketiga, angkutan pengumpan yang belum tersedia, sehingga perlu penataan jaringan angkutan perkotaan dari pemerintah daerah atau penataan ulang jaringan trayek eksisting untuk menjadi angkutan pengumpan. Keempat, infrastruktur dan fasilitas penunjang Integrasi belum tersedia. (*)