Zima: Bukan Sekadar Reinkarnasi Captain Jack

Photo Author
- Senin, 15 Februari 2021 | 15:50 WIB
IMG_8171 (1)
IMG_8171 (1)

Zuhdil, Ismeth, Momo, dan Andi Babon kembali ke Jogja lewat konser yang membangunkan romansa anak-anak muda awal tahun 2000an di Lapangan Pancasila UGM akhir 2019 silam. Berbahagialah mereka yang datang pada momen penting saat itu.

Komplotan yang dulunya menyatu di bawah bendera Captain Jack itu memahat memori dengan energi yang tak pernah ada sebelumnya sekaligus membakar hati ribuan orang yang ada di sana. Berada di sana malam itu adalah bukti bahwa hidup adalah berkah tanpa tanding.

Mereka tidak sampai di sana. Awal tahun 2021 keempatnya kembali menjadi sesuatu yang bisa memengaruhi generasi--sama seperti yang pernah dilakukan puluhan tahun lalu--di bawah nama Zima. Zima bagi Momo (vokal, gitar) adalah alternatif sekaligus keberanian melawan sistem nilai yang kini memaksa orang-orang seragam karena pemberontakan belum selesai.

"Kami ingin jadi penyeimbang kembali karena pilihan itu ada banyak. Enggak hanya senja melulu. Ada banyak yang harus kami suarakan, sehingga kami balik lagi. Bikin chaos lagi, karena sekarang saking teraturnya sekarang sangat membosankan. Bisa dibilang kembalinya kami adalah panggilan," kata Momo saat ngobrol santai di Urup Kopi Ponti dan Angkringan.

Zima sendiri tidak perlu diartikan. Begitu Zuhdil aka Sanco memandang nama band ini. Apa yang akan mereka sampaikan lewat banyak karya ke depannya jauh lebih penting daripada mengupas secara filosofis nama itu. Zima juga menjadi ruang berpikir dan ekspresi keempatnya. "Sekarang kita lagi mabuk quote dari Alm.Kasino kan bahw kita tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur. Saya enggak setuju, Indonesia kekurangan orang pintar yang berpikir apalagi orang jujur," tandas Momo.

Single perdana berjudul "Sisi Gelap" yang rilis Rabu (10/2) malam jadi pancang pertama Zima menyampaikan kemuakan terhadap realita. Selain audio mereka juga bakal merilis video lirik yang setengahnya film berkolaborasi dengan kawan-kawan pegiat visual. Lagu ini bicara tentang kebanalan penghakiman orang-orang terhadap sesuatu yang tak mereka kenali.

Penghakiman ini, dalam realitas kekinian, melahirkan banyak kekerasan yang mulai telanjang dan dianggap wajar di tengah masyarakat. Sejarah mencatat banyak kekerasan yang lahir akibat kebanalan itu. Talangsari dan Sampang dua di antara banyaknya kekerasan yang lahir dari penghakiman yang tercatat sebagai fakta gelap bagi Indonesia.

"Kami bicara tentang itu, kemanusiaan yang gampang menghakimi. Kita kehilangan simpati dan empati, sisi gelap dari lirik berangkat dari sana. Di luar sana banyak teman-teman yang mendapat penghakiman seperti itu," sambung Momo. (Des)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: tomi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X