JAKARTA, KRJOGJA.com - Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (ATR/BPN RI) mengadakan Workshop Pemberdayaan Hak Atas Tanah Masyarakat Tahun 2020 pada Senin-Jumat (5-9/10) secara luring (offline) sekaligus daring (online) yang diikuti oleh Kantor Wilayah (Kanwil) BPN dan Kantor Pertanahan (Kantah) diseluruh Indonesia.
Workshop dibuka oleh Direktur Jenderal Penataan Agraria, Dr. Andi Tenrisau, S.H., M.Hum. Workshop yangberharap mampu mengkristalisasikan pemikiran dari semua pihak yang terlibat, terutama para pemangku kepentingan untuk menyelaraskan pemahaman program pemberdayaan hak atas tanah masyarakat, sehingga bisa melaksanakan kegiatan di lapangan dengan baik.
Pada kesempatan tersebut Rika Fatimah P.L., S.T., M.Sc., Ph.D. selaku Founder, Tenaga Ahli dan Konseptor Global Gotong Royong (G2R) Tetrapreneur menyampaikan sebagai salah satu narasumber yang diundang. Salah satu pembahasan mengawali paparannya d sampaikan tentang hakekat dari pemberdayaan dalam optimalisasi pemetaan sosial, supply chain dan pengukuran pencapaiannya.
Menurut Rika pandangan G2R Tetrapreneur dalam ketidaksesuaian lazimnya persepsi tentang pemberdayaan mencakupi tiga hal yaitu bukan sekadar memberikan perintah hanya karena pemberdaya merasa lebih tahu apa yang terbaik untuk yang diberdayakan; bukan sekadar angka yang dihitung hanya karena keperluan lengkapnya laporan yang perlu diserahkan; dan bukan sekadar seberapa cepat hasil di tunjukkan hanya untuk segera melegimitasi indikator keberhasilannya.
"G2R Tetrapreneur mewajarkan penyamaan persepsi ini melalui setiap Tetra nya yaitu Tetra 1 hingga Tetra 4 yang bersandar pada misinya yaitu ‘Memartabatkan manusia seutuhnya sebagai sumber intelektual yang takzim atas kekayaan alam dan budaya anugerah Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Esa," kata Rika.
Rika menjelaskan penyamaan persepsi dalam rangka berfikir G2R Tetrapreneur pun mencakupi 3 hal utama yaitu bukan menyuruh/memerintah tapi mengajarkan, mengedukasi, membagikan dan eksplorasi, lalu bukan menghitung angka (contoh penurunan angka kemiskinan) namun memanusiakan dan mengukur nyata adanya serta bukan kecepatan berhasilnya namun keberlanjutan dan pencapaian sebagai ikhtiar manusianya.
"Kelaziman persepsi yang kurang tepat tersebut melahirkan kurang visionernya dalam implementasi program-program pemberdayaan yang ‘meniru’ program yang telah sukses diterapkan didaerah lainnya. Padahal belum tentu suatu program dapat diterapkan pada suatu wilayah dengan mekanisme dan pengukuran yang sama untuk mendapatkan hasil yang sama," ungkapnya.
Karena itu, kata Rika diperlukan inisiasi atau langkah awal (pioneer) dalam pemberdayaan masyarakat, terutama pemberdayaan ekonomi akar rumput (grass root). Namun hal tersebut belum banyak dilakukan karena kecenderungan para pemangku kebijakan selalu ingin melihat success story suatu program sebagai dasar penilaian keberhasilan pelaksanaan suatu program. Sementara pioneer merupakan sebuah langkah inisiasi dan belum tentu ada success story yang lebih sesuai jika diukur dalam pencapaian program-nya.
"Menyikapi hal tersebut model G2R Tetrapreneur menghadirkan sebuah model dimana unsur penggerak utama-nya adalah masyarakat yang dimotori oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dan Pemerintah Desa (PemDes) selaku stakeholder. Kewirausahaan desa merupakan sebuah kebaruan ikonik global, yang bukan hanya seputar pengentasan kemiskinan, jual beli, atau tujuan jangka pendek lainnya, melainkan penciptaan aliran kemanfaatan baik finansial maupun non-finansial yang terus menerus," paparnya.
"Karena pengentasan kemiskinan sejatinya bukan memperkecil angka kemiskinan namun memberdayakan masyarakat sehingga dapat berdaya dan berkelanjutan. Kebaruan ikonik global ini merupakan salah satu kekayaan hakiki Indonesia yang harus dijaga oleh pemerintah sebagai pengemban amanah bangsa," tambah Rika. (*)