TNI Ikut Tangani Terorisme, Ancam Kebebasan Sipil

Photo Author
- Senin, 11 Mei 2020 | 13:34 WIB
Puspen TNI
Puspen TNI

YOGYA, KRJOGJA.com - Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, yang dikirim Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke DPR RI, pada 4 Mei 2020 lalu untuk memperoleh persetujuan DPR, adalah mandat Pasal 43I ayat 1,2, dan 3, yang pada intinya menyebutkan bahwa Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang, yang detailnya kemudian didelegasikan untuk diatur dalam Perpres. Namun banyak yang menilai hal ini justru bisa menimbulkan ancaman terhadap kebebasan sipil.

Ketua Setara Institut, Hendardi mengungkap sebagai sebuah regulasi turunan dari Pasal 43I, maka penyusunan Rancangan Prespres tidak boleh melampaui ketentuan yang secara tegas diatur dalam Pasal 43I yang merupakan dasar hukum Rancangan Perpres tersebut. Menurut dia, menamgacu pada Pasal 43I, yang seharusnya disusun oleh pemerintah dalam menerjemahkan mandat delegasi dari norma tersebut adalah menyusun kriteria dan skala ancaman, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan, termasuk mekanisme perbantuan terhadap Polri, dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme, karena tidak ada mekanisme tanggung gugat atas anggota TNI, ketika melakukan tindak yang melanggar hukum.

“Di luar lingkup di atas, Rancangan Perpres yang disusun adalah baseless alias tidak memiliki dasar hukum. Dari draft yang beredar, Rancangan Perpres yang disusun pemerintah justru keluar jalur dan melampaui substansi norma pada Pasal 43I tersebut. Apa yang disajikan dalam Rancangan Perpres tersebut merupakan gambaran nafsu TNI untuk merengkuh kewenangan baru yang melanggar Konstitusi (Pasal 30 ayat (4) UUD Negara RI 1945), bahwa TNI adalah alat pertahanan yang melakukan operasi militer perang dan operasi militer selain perang yang hanya bisa dijalankan atas dasar kehendak politik negara (Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI). Artinya, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang harus berdasar pada Keputusan Presiden yang dikonsultasikan dengan DPR,” ungkapnya melalui rilis tertulis, Senin (11/5/2020).

Hendardi menilai rancangan yang disusun pemerintah justru mengukuhkan peran TNI secara permanen dengan memberi tugas TNI memberantas terorisme secara berkelanjutan, dari hulu ke hilir, di luar kerangka criminal justice system, dengan pendekatan operasi teritorial, dan memberikan justifikasi pada penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang merupakan dana penyelenggaraan otonomi daerah. Draft Perpres juga dinilai mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.

”Cara penyelundupan hukum yang diadopsi dalam Rancangan Perpres adalah mengancam supremasi Konstitusi, mengikis integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil warga. Rancangan Perpres juga berpotensi men-sabotase tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang merupakan leading sector dalam pencegahan dan pemulihan atau deradikalisasi dan merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana, yang selama ini dijalankan oleh Polri,” ungkapnya lagi.

Sebagai gambaran, salah satu tugas TNI yang digambarkan dalam RPerpres tersebut adalah pelaksanaan operasi teritorial dalam rangka penangkalan, sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) berupa pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/non fisik, serta komunikasi sosial. Selain tidak dikenal istilah penangkalan, rumusan operasi teritorial ini menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil warga. Rumusan model ini hanya menggambarkan kehendak memupuk anggaran dan mengokohkan kembali supremasi militer dalam kehidupan sipil.

”Atas dasar itu, DPR dan Presiden Jokowi harus menolak Rancangan Perpres ini, apalagi dibahas di tengah Pandemi Covid-19, yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan komunikasi politik yang sehat. Memaksa mengesahkan Rancangan Perpres dengan rumusan sebagaimana draft yang beredar, DPR dan Presiden Jokowi dapat dikualifikasi melanggar UU dan melanggar Konstitusi,” tegasnya. (Fxh)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: tomi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X