Krjogja.com - JAKARTA - Selama ini pemalsuan barang sering dilakukan di oasar. Seiring dengan berubahan perilaku masyarakat, pemalsuan barang saat ini banyak dilakukan lewat media sosial.
Berdasarkan hasil rekapitulasi studi dampak pemalsuan terhadap perekonomian Indonesia tahun 2020 yang dilakukan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) bekerja sama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH), secara nominal, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh peredaran produk palsu tersebut mencapai Rp 291 triliun, dengan kerugian atas pajak sebesar Rp 967 miliar serta lebih dari 2 juta kesempatan kerja.
Menurut Direktur Eksekutif MIAP, Justisiari P. Kusumah, di Jakarta, Rabu (13/9), hasil servei barang palsu yang ditemukan software masih menempati urutan tertinggi rentan dipalsukan hingga 84,25 persen, diikuti oleh kosmetik 50 persen, produk farmasi 40 persen, pakaian dan barang dari kulit sebesar masing-masing 38 persen, makanan dan minuman 20 persen, serta pelumas dan suku cadang otomotif sebesar 15 persen.
Untuk itu, MIAP Social Media Content Competition 2023 yang ditujukan untuk merangkul anak muda dalam menggaungkan Kampanye Anti Pemalsuan. Melalui tema “Bangga & Cinta Terhadap Merek Indonesia – Anak Muda Gak Pakai Produk Palsu!” peserta diwajibkan untuk berkreasi membuat video berdurasi 1 (satu) menit tentang ajakan untuk waspada terhadap peredaran produk palsu/ilegal, khususnya untuk produk-produk kosmetik, farmasi, perangkat lunak (software), makanan dan minuman, barang dari kulit, produk fashion, oli dan suku cadang otomotif serta tinta printer/katrij.
“Berdasarkan Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia tahun 2020, kami masih menemukan bahwa kerugian negara dari pajak dan kehilangan kesempatan bagi tenaga kerja cukup signifikan akibat peredaran produk palsu,” ungkapnya.
Sementara itu, Noprizal, Sub Koordinator Penyelesaian Sengketa Alternatif DJKI, Kemenhumham Noprizal mengatakan, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM terus meningkatkan pengawasan terhadap peredaran barang palsu di Indonesia, baik yang dipasarkan di pusat perbelanjaan (mall) atau melalui e-commerce. Salah satu program yang telah dan terus dilakukan adalah melakukan sertifikasi pusat perbelanjaan atau mall guna meminimalisir perdagangan barang palsu yang melanggar hak cipta merek lain.
"Sejak 2021 DJKI telah melakukan Sertifikasi pusat perbelanjaan sebanyak 87 mall di tingkat propinsi, supaya mall tidak gukanan merek palsu dalam aktivitas perdagangan mereka. Tahun ini diperluas sertifikasi mall ke tingkat kabupaten, jadi bisa capai 100 mall bersertifikasi anti pemalsuan di tahun ini," paparnya.
Sejalan dengan program sertifikasi mall, DJKI juga telah menggandeng asosiasi marketplace (lokapasar) yakni IDEA di 2021 mendukung komitmen pemerintah dalam memberantas peredaran produk yang melanggar kekayaan intelektual (KI) di platform mereka.
"MoU masih dalam pembahasan. Jadi rencananya MoU per pelaku e-commerce. Tetapi dalam proses edukasi terus kami libatkan e-commerce. Dan sejauh ini para pelaku e-commerce juga telah melaporkan satu-dua pelaku, dan sudah kami undang untuk klarifikasi seperti apa perjanjiannya," jelas Noprizal.
Untuk diketahui, sejak 2021 pemerintah sendiri telah membentuk Satuan Tugas Operasi (Satgas Ops) anti pembajakan yang terdiri dari DJKI, Bareskrim Polri, Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pembentukan satgas ini disebut untuk menanggulangi Indonesia yang saat ini dalam status Priority Watch List (PWL). Untuk diketahui, pada Special Report 301, Indonesia diberikan status PWL karena minimnya perlindungan dan penegakan hak kekayaan intelektual yang memadai saat itu.
"Perlundungan merek ini sangat penting karena bisnis dari merek lokal telah tumbuh pesat dan berpotensi menjadi pemain global. Kesempatan besar untuk bersaing ini butuh peran aktif semua pihak untuk menduduki merek lokal, bukan hanya sebagai sebuah produk, tetapi juga cerminan identitas bangsa," jelasnya.
Widyaretna Buenastuti, Lead Advisor MIAP menambahkan, mengingat barang palsu juga dijual online, tidak saja dijual di pasar, maka anak muda perlu diedukasi sekaligus mengajak mereka berpartisipasi untuk melakukan kempanye anti barang palsu dengan membuat ide kreatif yang mengedukasi khalayak tentang kebanggan akan produk asli Indonesia, dan diposting si medsos mereka.
"Kita ingin mengajak anak muda dan menegaskan bahwa Indonesia bukan tempat barang palsu. Memang ada persoalan harga. Tetapi harus diedukasi soal pilihan kepada kosumen bahwa produk berkualitas lokal pun mampu bersaing. Jadi jangan cari barang brended tetapi palsu," jelasnya. (Lmg)