Krjogja.com - Jakarta - Gelombang unjukrasa akibat Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di perusahaan PT Polo Ralph Lauren Indonesia dan PT Manggala Putra Perkasa tidak ada kaitan dengan sengketa merek.
"Yang terjadi di perusahaan tersebut tidak ada kaitan dengan sengketa merek," ungkap kuasa hukum Mohindar, Bogintha Semibiring,di Jakarta, Senin (13/5/2024). Penegasan ini disampaikan Bogintha Sembiring karena ratusan karyawan PT Polo Ralph Lauren Indonesia dan PT Manggala Putra Perkasa terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), diduga akibat sengketa merek yang dimenangkan pihak Mohindar H.B di pengadilan.
Baca Juga: Bank Sampah Berkah RW 02 Timuran, Solusi Buang Sampah Sambil Menabung
"Berdasarkan pemberitaan yang beredar bahwa karena sengketa merek ini, banyak karyawan yang harus di-PHK, pabriknya akan ditutup. Kami pikir ini tidak ada korelasi langsung sengketa merek ini dengan kejadian PHK dan penutupan pabrik," ujar Bogintha.
Dia menjelaskan gelombang PHK sudah terjadi sebelum sengketa merek "Justru faktanya banyak sengketa ketenagakerjaan terkait PHK yang terjadi sebelum sengketa merek ini, contohnya di 2021 dengan nomor kasus 319 yang merupakan kasus 38 pekerja yang di-PHK," katanya.
Baca Juga: Ini Pekerjaan yang Tak Tergantikan, Meski Disrupsi Semakin Menjadi-jadi
Dia mengatakan awal sengketa merek Polo berawal dari Mohindar yang membeli merek tersebut dari Jon Whiteley berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) pada 1986, dan diperpanjang hak atas merek sampai 5 Juli 2003. Namun, PT Manggala Putra Perkasa membeli merek tersebut dari Jon Whiteley yang sebenarnya sudah tidak dimiliki. PT Manggala Putra Perkasa menggugat Mohindar atas AJB palsu, namun pada proses hukum gugatan tersebut gugur setelah dilakukan pencocokan lapkrim di Mabes Polri.
"Proses hukum berlangsung alot, tidak hanya atas nama PT Manggala Putra Perkasa, atas nama perusahaan lain juga turut menggugat Mohindar H.B. hingga 2022. Padahal, Mohindar diputuskan sebagai pemilik merek Polo by Raplh Lauren beserta Logo melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1776 /K/Pdt/1996 yang diputus pada 1997.Hal ini dipertegas dengan putusan MA pada 14 Maret 2024, yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK)," ungkapnya. (Ati)