DEPOK - Ruang sipil seharusnya menjadi wadah kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Partisipasi Muda, Neildeva Despendya, kebebasan tidak hanya mencakup hak untuk berkumpul, berpendapat, atau berekspresi, tetapi juga mencakup perlindungan negara terhadap hak-hak dasar warganya.
"Hak dasar itu termasuk hak untuk tidak dikriminalisasi hanya karena membaca buku tertentu atau menyuarakan pendapat. Saat ini, masih banyak aktivis yang justru dipenjara karena hal-hal seperti itu,” ujar Neildeva dalam acara Spill The Research Jabodetabek di Kampus FISIP Universitas Indonesia, Rabu (1/10/2025).
Neildeva menjelaskan sosial-politik maupun aktivitas kebudayaan juga perlu ditunjang oleh lingkungan yang mendukung. Tujuannya adalah menciptakan ruang diskusi yang sehat dan terbuka terhadap perbedaan pendapat.
Baca Juga: Apresiasi Perusahaan, JNE Berangkatkan Umrah 1.643 Karyawan
"Perbedaan dalam diskusi itu wajar. Justru itu indikator ruang sipil yang sehat,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Neildeva menekankan bahwa ruang sipil tidak hanya ada di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Oleh karena itu, ruang digital juga harus bebas dari ancaman kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat.
"Kalau kalian merasa takut untuk nge-tweet soal isu tertentu karena khawatir didoxing atau bahkan digerebek, itu berarti ruang sipil kita sudah tidak sehat. Kita hidup dalam ruang sipil yang toxic,” tegasnya.
*Riset: Ruang Sipil di Indonesia Kian Menyempit*
Pandangan senada disampaikan oleh Dr. Muhammad Fajar, Ph.D. in Political Science dari Northwestern University, yang memaparkan hasil penelitiannya mengenai ruang sipil dan demokrasi di Indonesia. Ia menemukan indikasi adanya praktik melawan hukum yang mempersempit ruang sipil di tanah air.
"Dari hasil wawancara yang kami lakukan, salah satu temuan utama adalah pentingnya melibatkan anak muda dalam memperluas basis kekuatan gerakan sosial dan mendorong agenda-agenda mereka,” ujar Fajar, yang juga menjadi salah satu pemateri dalam diskusi tersebut.
Menurutnya, penguatan kapasitas internal organisasi menjadi kunci agar gerakan sosial mampu bertahan dan membawa perubahan jangka panjang.
Baca Juga: Mengenal Pohon Bodhi, Simbol Pencerahan yang Ditanam Megawati di UGM
"Kalau tidak punya organisasi yang kokoh dan keterikatan dengan massa, maka agenda-agenda perjuangan tidak akan berjalan jauh,” jelas Fajar.