KRjogja.com - JAKARTA - Konflik kepemimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pasca Muktamar X di Ancol, Jakarta, kembali menyeret partai berlambang Ka’bah itu ke pusaran dualisme. Dua kubu, yakni Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim legitimasi sebagai ketua umum.
Kondisi tersebut menambah beban berat PPP yang baru saja gagal menembus ambang batas parlemen pada Pemilu 2024.
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif SCL Taktika Konsultan, Iqbal Themi, menilai konflik ini menandai krisis eksistensial di tubuh partai Islam tertua di Indonesia itu.
“PPP dulu adalah rumah besar umat Islam, simbol persatuan di masa Orde Baru. Tapi hari ini, setelah seperempat abad reformasi, PPP justru terpecah dan kehilangan kursi di Senayan. Jika tak segera berbenah, PPP bisa menjadi dinosaurus politik Islam — besar di masa lalu, tapi tenggelam di era baru,” ujar Iqbal dalam diskusi publik Aktual Forum bertema “Dualisme Kepengurusan PPP Pasca Muktamar Ancol 2025” di Tebet, Sabtu (4/10/2025).
Baca Juga: Pasar Malam Kalipepe Ditinjau Gubernur Jateng dan Bos Kuliner Puspo Wardoyo, Pedagang Minta Selfie
Iqbal menilai, perebutan kepemimpinan bukan sekadar konflik internal, melainkan cerminan krisis struktural yang telah lama membayangi PPP.
“Partai yang dulu mampu bertahan di bawah represi politik Orde Baru, kini justru rapuh di era demokrasi. Ini ironi sejarah. Jika terus disandera dualisme, energi PPP akan habis untuk urusan administrative politics — perebutan legalitas birokratis — dan bukan tidak mungkin pada akhirnya hanya tinggal sebagai fosil demokrasi: eksis dalam dokumen negara, tapi kehilangan arah di mata umat,” tegasnya.
Secara elektoral, dukungan terhadap PPP terus merosot — dari 10,7 persen suara pada Pemilu 1999, menjadi hanya 3,87 persen pada Pemilu 2024.
“Penurunan ini bukan sekadar tren angka, tetapi sinyal hilangnya kepercayaan umat,” lanjutnya.
Menurut Iqbal, basis sosial PPP kini telah terdistribusi ke partai-partai lain. Pemilih Nahdlatul Ulama (NU) beralih ke PKB, Muhammadiyah ke PAN, kelas menengah Muslim ke PKS, sementara pemilih Islam moderat cenderung berpihak pada partai-partai nasionalis.
Baca Juga: Siap-siap, Menkeu Purbaya bakal Bangun Kawasan Industri Tembakau di Kudus
Ia menyebut situasi ini sebagai “triple delegitimation” — hilangnya legitimasi elektoral, institusional, dan performa politik.
Meski menghadapi kemerosotan, Iqbal optimistis kebangkitan PPP masih mungkin terjadi jika partai mampu melakukan islah nasional secara sungguh-sungguh.
“Jalan satu-satunya adalah kembali ke khittah sebagai rumah besar umat Islam. Kalau ini dilakukan dengan semangat persatuan dan menjadi kesadaran kolektif, PPP masih punya peluang untuk kembali ke Senayan pada 2029,” pungkasnya.(*)