Krjogja.com — Akademisi STF Driyarkara sekaligus rohaniawan terkemuka, Romo Agustinus Setyo Wibowo, hadir di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada pada Selasa (28/10) kemarin.
Bersama Heri Santoso (UGM) dan Min Seong Kim (USD), Romo Setyo bertindak selaku narasumber dalam gelaran Simposium Nasional Filsafat Nusantara (SNFN) 2025.
Baca Juga: PKBSI DIY Rapat Kerja Tahunan, Yogya Siap Jadi Tuan Rumah Latgab Nasional
Bertempat di Gedung Persatuan Lantai 3 Fakultas Filsafat UGM, gelaran SNFT tahun ini membahas tema menarik perihal dekolonisasi.
Dalam paparannya, Romo Setyo membahas tentang tiga karakteristik utama orang Indonesia yang menurutnya berbeda dengan orang dari belahan dunia lain.
Tiga karakteristik yang Romo Setyo maksud yakni religius-mistik transendental, anti dialektika, serta harmoni sosial.
Baca Juga: Hadapi Persipura, Pelatih PSS Beri Evaluasi dan Siapkan Hal Ini
"Survei terhadap Gen Z bahkan menunjukkan anak muda yang beragama mencapai 93%. Sementara di negara lain, makin sedikit anak muda yang beragama," seloroh Romo Setyo.
Bagi lulusan Universitas Paris itu, membicarakan Indonesia tak pernah bisa lepas dari singgungan dengan agama. Religiusitas memang menjadi karakter yang telah mendarah daging dalam jati diri bangsa.
Pandangan ini mirip dengan apa yang Tan Malaka kemukakan di dalam karya masyhurnya "Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika".
Selain itu, pandangan serupa juga pernah dielaborasi dengan lebih ringan oleh Mochtar Lubis dalam buku "Manusia Indonesia".
Selain karakter religius, ciri khas kedua yang Romo Setyo paparkan adalah anti dialektika. Menurutnya, sikap orang Indonesia cenderung anti perdebatan.
Perbedaan yang muncul jarang dilihat sebagai pertentangan. Alih-alih, hal semacam itu lebih dilihat sebagai perlainan semata.
"Di Indonesia ini tidak pernah ada debat sungguhan. Kalau debat sedang panas, tiba-tiba iklan, break. Ketawa-ketawa," Romo Setyo mencontohkan.