Maraknya Paparan Radikalisme Lewat Internet, Pakar UGM Jelaskan Hal Ini

Photo Author
- Minggu, 30 November 2025 | 07:20 WIB
Ilustrasi gerakan radikalisme atau terorisme. (Sumber foto:  PPATK)
Ilustrasi gerakan radikalisme atau terorisme. (Sumber foto: PPATK)
 

Krjogja.com–YOGYA– Fenomena paparan radikalisme melalui ruang digital kembali mendapat sorotan serius setelah data dari banyak media menunjukkan bahwa 110 anak dari 23 provinsi di Indonesia teridentifikasi masuk dalam gerakan radikalisme, lima di antaranya sudah berstatus tersangka dengan dugaan afiliasi ke kelompok ekstremis.

Menanggapi fenomena ini, Hakimul Ikhwan, S.Sos., MA, Ph.D., dosen Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada, menyebutkan bahwa gerakan radikalisme sulit untuk mengalami kemunduran gerakan. Menurutnya, paham radikalisme masih melekat di akar rumput dan terus terjadi. 

“Tapi kenyataan, hari ini fenomena radikalisme tetap saja tidak mengalami pengurangan atau terjadi pengenduran gerakan. Orang tetap saja bisa terpapar, bergabung, dan masuk ke dalam konstruk  berpikir radikal. Bagaimanapun situasinya kenyataan tidak ada indikasi pengurangan signifikan, dan tetap terjadi”, ungkapnya di Fisipol UGM, Jumat (28/11/2025), mengutip dari laman resmi UGM. 

Baca Juga: Banjir Longsor di Sumatera, Dompet Dhuafa Bangun Pos Respon Bencana di Sejumlah Titik

Lebih lanjut, Hakimul memperingatkan bahwa paparan ideologi radikal kini menjangkau rentang usia yang sangat luas, termasuk anak-anak dan remaja usia 10–18 tahun. Kasus terbaru, ia mencontohkan, terjadi di sebuah sekolah di Jakarta, di mana serangan bom dilancarkan pada saat salat Jumat.

Bagi Hakimul, media digital,  termasuk video game dan media sosial turut berperan signifikan dalam membuka ruang normalisasi kekerasan. Menurutnya, teknologi seperti ini memungkinkan internalisasi kekerasan bahkan sebelum muncul tindakan ekstrem. “Digital, video game, semua instrumen ini dekat sekali dengan anak muda dan tidak sedikit yang membuka ruang, kesempatan untuk mereka menormalisasi perilaku tindakan kekerasan,” tambahnya. 

Tak lupa, Hakimul juga menyoroti peran algoritma di media sosial yang melalui mekanisme “filter bubble” dan “echo chamber”, membatasi paparan pengguna terhadap sudut pandang yang beragam. Akibatnya, pengguna rentan terjebak dalam satu narasi tunggal yang bisa memantik sikap militan dan kebencian. Di akhir, guna merespons fenomena ini, Hakimul mengingatkan pentingnya penanganan bersama yang melibatkan semua pihak. 

Baca Juga: Hadir Kembali di JAFF Market, MD Pictures Buka Proyek Kolaborasi dan Ungkap Film Terbaru

“Radikalisasi anak melalui ruang digital adalah masalah nyata, kompleks, dan menuntut kerja bersama. Membangun masyarakat kritis merupakan perjalanan yang panjang. Karena itu, dengan kepedulian sosial kita bisa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang nanti akan menjurus kepada tindakan yang ekstrim,” tutupnya. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Primaswolo Sudjono

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X