nasional

DPR dan Petani Tembakau Tolak Rokok Disamakan dengan Narkoba

Selasa, 6 Juni 2023 | 18:20 WIB
Firman Subagyo. (Istimewa)

Krjogja.com - JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dengan tegas menolak adanya selipan pasal-pasal tentang pertembakauan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.


Pasal tersebut antara lain menyebutkan, rokok atau tembakau disamakan dengan narkoba. Tembakau memberikan nilai positif dan menguntungkan negara sementara narkoba membahayakan kesehatan sekaligus merugikan negara.


[crosslink_1]


“Kalau narkoba itu tidak ada nilai ekonominya. Narkoba jelas merugikan pemakai dan negara. Kalau tembakau dan industri rokok, ada nilai ekonomi dan nilai sosialnya. Beda jauh sekali. Ini kan ada industri tembakaunya dan jelas bahwa yang namanya tembakau itu ada dampak positifnya untuk negara, ada menyumbang devisa negara, dan menyumbang kepentingan negara,” tegas anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI Firman Subagyo kepada pers kemarin di Jakarta.


Firman Subagyo mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membuat kebijakan dengan mengambil keputusan atas gugatan judicial review bahwa tanaman tembakau itu adalah tanaman halal bukan tanaman haram. Bahkan, ketika ada anggota masyarakat yang menggugat industri rokok agar tidak boleh memasang iklan, gugatan itu dibatalkan MK alias ditolak.


“Semua produk yang resmi ada ijin dan sebagainya itu adalah hak asasi manusia. Jadi, tidak ada satu pun yang dilanggar industri rokok maupun tembakau apalagi petani tembakau,” tegas Firman Subagyo.


Menurut Firman Subagyo, seharusnya pemerintah berkeberatan dengan adanya sisipan pasal yang menyamakan rokok atau tembakau dengan narkoba di RUU Kesehatan. Hal ini karena negara sudah memungut cukai dari rokok yang jumlahnya hampir mencapai Rp 220 triliun, ditambah pajak-pajak lain dari industri rokok. Firman menyayangkan, Kementrian Kesehatan justru mendukung adanya pasal tersebut.


“Kalau rokok atau tembakau mau disamakan dengan narkoba pertanyaan saya adalah, kapan narkoba dipakai orang Indonesia? dan kapan orang Indonesia merokok? Kalau dianggap rokok itu mematikan karena asapnya, apakah asap industri tidak lebih bahaya? Apakah asap mobil tidak berbahaya daripada rokok? Bis-bis yang lewat sekali ngepul sudah seperti rumah kebakaran. Kenapa itu tidak? Ini kan ada kepentingan - kepentingan dagang,” tanya Firman Subagyo.


Menurut Firman Subagyo, pihaknya mencurigai ada pihak-pihak tertentu yang ingin menjatuhkan ekonomi nasional, sehingga memasukan sisipan pasal 154 yang intinya berisi penyamaan narkoba dengan tembakau ataupun rokok,. Padahal pasal tersebut tidak ada dalam rancangan awal dari RUU Kesehatan.


“Yang jelas, ini tidak lazim dan tidak sesuai dengan spirit UU karena UU-nya tidak membahas soal komoditi yang berdampak pada Kesehatan. Kalau kita membahas komoditi yang berdampak pada kesehatan jangan hanya tembakau saja, gula juga kita harus dibahas, kemudian bensin, karena bensin itu penyebab daripada asap yang merusak paru-paru masyarakat. Kenapa hanya tembakau yang disasar? Kenapa begitu? Berarti ada sesuatu karena kita tahu bahwa ada persaingan keras yang namanya industri farmasi dan industri tembakau,” tegas Firman Subagyo.


[crosslink_2]


Perbaikan Pelayanan Kesehatan


Menurut Firman Subagyo, latar belakang adanya RUU kesehatan yang menggunakan metode Omnibuslaw merupakan inisiasi Badan Legislasi (Baleg) DPR. RUU tersebut tujuannya ingin menyempurnakan tata kelola pelayanan kesehatan yang sekarang ini dianggap masih kurang baik. Padahal, di RUU Kesehatan pada pelayanan kesehatan itu adalah menjadi hak masyarakat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Itu prinsip dasarnya.


“Sekarang ini pelayanan kesehatan kita ini masih jauh dari apa yang diharapkan. Jumlah dokter yang tersedia masih jauh daripada mencukupi. Kemudian juga untuk pengadaan kebutuhan dokter spesialis saja itu masih jauh dari pada yang kita harapkan. Seorang mahasiswa kedokteran untuk mendapatkan ijin praktik dan setelah menjadi dokter untuk mengambil spesialis, karena sistemnya rumah sakit rujukan yang menyelenggarakan mengambil spesialis. juga banyaknya regulasi-regulasi yang itu seharusnya menjadi kewenangan pemerintah diambil alih oleh organisasi profesi. Nah ini yang prinsipnya harus kita sempurnakan dan kita perbaiki, agar pelayanan kesehatan bisa maksimal termasuk BPJS, dimana BPJS itu kan kalau orang sakit itu kan dibatasi waktu sekian hari semoga sembuh, keluar dulu baru masuk lagi,” urai Firman Subagyo.

Halaman:

Tags

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB