JAKARTA, KRJOGJA.com - Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan, sesuai skema konsolidasi sebagaimana diatur pada POJK KUB, terdapat 5 skema konsolidasi bagi Bank Umum dengan modal inti kurang dari Rp 3 triliun, yakni pertama Penggabungan, Peleburan atau Integrasi (P/P/I). Kedua, pengambilalihan yang diikuti P/P/I. Ketiga pembentukan KUB terhadap bank yang telah dimiliki. Ke empat pembentukan KUB karena Pemisahan (spin off) UUS serta ke lima pembentukan KUB karena Pengambilalihan.
“Ada 5 skema konsolidasi sebagaimana diatur pada POJK KUB, terdapat 5 skema konsolidasi bagi Bank Umum dengan modal inti kurang dari Rp 3 triliun “ kata Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae,di Jakarta, Selasa (06/09/2022).
Dikatakan, skema ini untuk memenuhi Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, hingga Juli 2022, terdapat 37 bank yang memiliki modal inti di bawah Rp 3 triliun, terdiri dari 24 bank umum dan 13 BPD yang sedang dalam proses konsolidasi maupun pemenuhan modal inti minimum.
Sesuai dengan POJK tentang Konsolidasi Bank Umum, dalam pemenuhan skema konsolidasi, bagi bank yang memiliki modal inti di bawah Rp 3 triliun dapat membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB) dalam hal rencana penggabungan, peleburan, atau integrasi bank. “Saat ini, seluruh bank umum telah menyampaikan rencana tindak pemenuhan modal inti minimum melalui Rencana Bisnis Bank,†katanya.
Dian juga mengatakan, untuk restrukturisasi kredit yang terdampak covid -19 realisasinya terus menurun, hingga Juli 2022 mencapai Rp 560,41 triliun atau turun 40 persen dari restrukturisasi kredit pada tahun 2020 yang mencapai Rp 830,47 triliun. “Restrukturisasi kredit yang terdampak covid mencapai Rp 830,47 triliun pada tahun 2020, namun pada Juli 2022 terjadi penurunan hingga mencapai Rp 560,42 triliun, atau angka ini menurun dari Juni 2022 mencapai Rp 576 triliun, atau 40 persen dari kredit yang terdampak covid sudah sehat dan keluar dari restrukturisasi,“ katanya.
Adapun jumlah debitur juga mengalami penurunan, yang sebelumnya mencapai 6,84 juta debitur tahun 2020 menjadi 2,49 juta debitur per Juli 2022. Adapun sektor yang restrukturisasinya cukup tinggi diatas 20 persen yakni akomodasi, makanan dan minuman yakni mencapai 42,6 persen dengan restrukturisasi mencapai Rp 126,06 triliun. Sementara sektor real estate mencapai 17 persen dengan restrukturisasi mencapai Rp 51,87 triliun.
“Secara proporsi sektoral, restrukturisasi Covid-19 per sektor terhadap total kredit per sektor yang masih di atas 20 persen adalah sektor akomodasi, makanan dan minuman yang mencapai 42,69 persen atau senilai Rp 126,06 triliun. Sedangkan sektor lain yang masih terdampak adalah real estat dan sewa, sebesar 17,90 persen kredit sektor ini masih direstrukturisasi dengan nilai Rp 51,87 triliun,†paparnya.
Sedangkan untuk UMKM, per Juli 2022 memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan kredit perbankan dengan kredit UMKM tumbuh signifikan sebesar 18,08 persen secara tahunan, di atas pertumbuhan total kredit sebesar 10,71 persen. Hal tersebut membuat porsi kredit UMKM terhadap total kredit menjadi lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Total kredit UMKM per Juli 2022 mencapai Rp 1.299,4 triliun atau 21 persen dari total kredit perbankan.
Sementara mengenai kebijakan Pemerintah yang menetapkan Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual, Dian menjelaskan OJK mendukung implementasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai salah satu objek jaminan utang, tentunya dengan tetap memprioritaskan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik di sektor jasa keuangan. Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan serta POJK No.42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum, bank dalam memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Menyinggung tentang wabah penyakit mulut dan kuku pada hewan ternak yang semakin meluas, menurut Dian, untuk mendukung kebijakan program Ketahanan Pangan Nasional, menopang perekonomian agar tetap tumbuh, dan menjaga sektor perbankan agar tetap stabil, diperlukan kebijakan countercyclical untuk meredam dampak penurunan kinerja debitur terdampak penyakit mulut dan kuku pada industri perbankan.
OJK telah melakukan pembahasan baik di internal OJK maupun dengan asosiasi perbankan untuk mendukung peternak dan sektor terdampak (sektor pembibitan dan budidaya sapi potong; sektor pembibitan dan budidaya ternak perah; sektor kombinasi pertanian atau perkebunan dengan peternakan (mixed farming); serta sektor jasa pertanian, perkebunan dan peternakan).
OJK telah mengeluarkan surat edaran kepada industri perbankan terkait kebijakan relaksasi sebagai dukungan OJK dan industri perbankan terhadap keadaan tertentu darurat penyakit mulut dan kuku dengan pokok-pokok sebagai berikut, Kebijakan berlaku bagi Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Bank dapat menerapkan kebijakan dan skema retsrukturisasi yang mendukung debitur terkena dampak wabah PMK antara lain peternak dan pelaku bisnis pada industri pengolahan terkait dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Debitur yang layak mendapatkan relaksasi merupakan debitur yang selama ini berkinerja baik namun menurun kinerjanya karena terdampak wabah PMK.
Implementasi relaksasi bagi debitur yang terdampak PMK tersebut secara umum diperlakukan serupa dengan kebijakan stimulus berdasarkan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah terakhir dengan POJK Nomor 17/POJK.03/2021, dengan pokok-pokok sebagai berikut Penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga/margin/bagi hasil/ujrah untuk kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain dengan plafon sampai dengan Rp10 miliar. (Lmg)