nasional

Belum Dibicarakan Parleman, Program Organisasi Penggerak Ditunda

Jumat, 24 Juli 2020 | 09:03 WIB

JAKARTA (KR) - Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejauh ini penetapannya belum dibicarakan dengan DPR RI sebagai mitra kementerian, sehingga landasan berkegiatannya masih lemah. Terlebih pemilihan peserta POP ternyata menimbulkan kontroversi, yang menyebabkan organisasi besar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memilih mundur dari program. Karena itu sebaiknya pelaksanaan program tersebut ditunda, agar tidak terlalu jauh menimbulkan kontroversi.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari DIY, M Afnan Hadikusumo dan Dr Hilmy Muhammad MA, Kamis (23/7) secara terpisah menyatakan keberatan atas hasil seleksi yang dihasilkan. Keduanya yang merupakan wakil konstituen Muhammadiyah dan NU DIY di DPD RI mengharapkan pemerintah bijak terkait pelaksanaan POP yang merupakan bagian dari Merdeka Belajar.

”Menurut saya program yang baik ini seyogianya ditunda dulu sampai ada pembahasan dengan parlemen. Dan sistem, mekanisme, serta kriteria dalam penentuan calon penerima sebaiknya dibuka secara transparan agar masyarakat menjadi lebih tahu tentang persoalan ini,” ujar Afnan.

Seperti diketahui sebelumnya, Kemendikbud RI telah mengeluarkan daftar organisasi masyarakat (ormas) yang lolos dalam Program Organisasi Penggerak (POP) pada 17 Juli 2020. Menyusul keputusan tersebut, Lembaga Pendidikan (LP) Maíarif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen)

PP Muhammadiyah memutuskan mundur dari program andalan Menteri Nadiem Makarim itu. Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 567 miliar pertahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih. Organisasi yang terpilih dibagi kategori III yakni Gajah, Macan, dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp 20 miliar/tahun, Macan Rp 5 miliar pertahun, dan

Kijang Rp 1 miliar pertahun.

Dijelaskan Afnan, POP sebetulnya bertujuan baik yakni dalam rangka membantu meningkatkan kualitas pengajar saat Ujian Nasional (UN) ditiadakan. Program pelatihan bagi guru ini dilakukan sebagai tindak lanjut keputusan Mendikbud mengganti UN menjadi asesmen kompetensi dan survei karakter dengan numerasi dan literasi jadi poin penting. Namun pascaseleksi oleh pihak kementerian, munculah persoalan baru.

Diketahui bahwa ada dua Yayasan CSR yakni Yayasan PS dan Yayasan BT yang lolos seleksi dengan kategori Gajah sebanyak dua kali. Ada empat hal menurut saya yang menimbulkan persoalan saat ini, pertama CSR itu diatur dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yakni tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau istilahnya corporate social responsibility. Sedangkan Ormas diatur melalui UU 16 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, dimana dalam hal pendanaan ormas diperoleh dari masyarakat ataupun dari pemerintah. Sehingga semangatnya berbeda, CSR harusnya menggunakan dana keuntungan perusahaan sedangkan ormas bisa menggunakan dana pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat.

Kedua, setiap kegiatan coorporate social responsibility (CSR) dapat berpengaruh pada penentuan penghasilan kena pajak (tax deductible). Sehingga jika CSR mendapat dana hibah dari APBN, institusi CSR ini akan mendapat semacam subsidi ganda. Yakni dari pengurangan pajak dan mendapat hibah dana dari APBN dengan kategori Gajah.

Ketiga, prosedur dan kriteria penetapan calon penerima POP ini terkesan kurang transparan, sehingga wajar jika memunculkan tanda tanya bagi ormas yang memang sudah puluhan tahun bergelut di bidang pendidikan. Menurut Hilmy, mundurnya dua ormas besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah melalui Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) PP Muhammadiyah dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud RI perlu menjadi perhatian serius. Jika tidak dikhawatirkan sebagai preseden buruk bagi keberlangsungan program tersebut.

"Keluarnya dua ormas itu merupakan kehilangan besar dan berimbas pada legitimasi program Kemendikbud tersebut. Oleh sebab itu, suara mereka perlu diperhatikan. Apalagi konsen mereka terhadap pendidikan juga luar biasa hingga hari ini dan bahkan mampu mengisi ruang-ruang yang tidak sanggup diisi Kementerian Pendidikan," tegas anggota DPD RI asal DIY, Dr Hilmy Muhammad MA dalam keterangan resminya, Kamis (23/7).

Padahal lanjut Gus Hilmy, sumbangsih mereka sedemikian besar yang harusnya diimbangi dengan perhatian lebih. Namun jika tetap tidak diikutsertakan, Gus Hilmy menyebut Kemendikbud dinilai lupa sejarah dan kehilangan disorientasi terhadap peran kedua organisasi tersebut. (Feb/Jon)

Tags

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB