Sebagai solusi, LIPI mengatakan sudah seharusnya BMKG melibatkan periset supaya mendapatkan data yang akurat terkait bencana. Riset bukan hanya anggaran saja tapi lebih bagaimana memanfaatkan hasil riset itu untuk mengoptimalkan akurasi dan kemampuan mitigasi.Â
"Menurut saya itu masih perlu ditingkatkan, kita harus melibatkan teman-teman dari ITB, LIPI, kumpul jadi satu," tuturnya.Â
Menurut BMKG menolak mitigasi bencana institusinya disebut ketinggalan zaman. "Bukan ketinggalan zaman, belum termutakhirkan karena alat yang dimiliki BMKG saat ini adalah alat peringatan dini tsunami diakibatkan karena gempa bukan vulkanik," ujar Kepala Humas BMKG, Tauvan MaulanaÂ
Terkait antisipasi kebencanaan usai tsunami Selat Sunda, Raihan menjelaskan BMKG Â telah memasang sensor ketinggian air atau water level dan sensor curah hujan di Pulau Sebesi, Selat Sunda, untuk mendeteksi kemungkinan gelombang tinggi sebagai dampak erupsi Gunung Anak Krakatau.
Alat tersebut disebut terkoneksi langsung ke server Automatic Weather Station (AWS) Rekayasa di BMKG.
"Saat ini sensor water level dan sensor curah hujan sudah terpasang di Pulau Sibesi dan live ke server AWS Rekayasa di BMKG, untuk mengantisipasi dini dampak erupsi Gunung Anak Krakatau terhadap tinggi gelombang laut," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Model sensor tsunami yang dikembangkan LIPI ini relatif tahan gangguan lantaran diletakkan di dasar laut dan tidak berbahan korosif.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menawarkan penggunaan sensor tsunami yang lebih efektif dan awet ketimbang buoy (pelampung). Alat tersebut bernama fiber bragg grating based tsunami sensor alias sensor laser dengan kabel fiber.
Model sensor tsunami yang dikembangkan LIPI ini relatif tahan gangguan lantaran diletakkan di dasar laut dan tidak berbahan korosif. Adapun sensor yang berbentuk pelampung lebih rentan tidak berfungsi karena mengapung di permukaan.